SKRIPSI HUBUNGAN ANGKA BEBAS JENTIK (ABJ) DG INSIDENS RATE KASUS TERSANGKA DEMAM BERDARAH DENGUE DI TINGKAT KECAMATAN KOTAMADYA X

(KODE KES-MASY-0027) : SKRIPSI HUBUNGAN ANGKA BEBAS JENTIK (ABJ) DG INSIDENS RATE KASUS TERSANGKA DEMAM BERDARAH DENGUE DI TINGKAT KECAMATAN KOTAMADYA X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Pembangunan sumber daya manusia yang disebutkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) XXXX-2025 bertujuan untuk mewujudkan manusia Indonesia yang sehat, cerdas, produktif, dan masyarakat yang sejahtera (Bappenas, XXXX). Manusia Indonesia yang sehat dapat terwujud apabila mereka hidup dalam lingkungan yang sehat serta dapat mempraktekkan perilaku hidup bersih dan sehat (Depkes RI, 2003). Salah satu kriteria lingkungan sehat adalah lingkungan yang terbebas dari wabah penyakit menular.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 disebutkan bahwa salah satu program yang dilaksanakan dalam bidang kesehatan adalah pencegahan dan pemberantasan penyakit menular (Bappenas, 2004). Penyakit menular yang menjadi prioritas pencegahan dan pemberantasan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) XXXX-2025 diantaranya adalah malaria, diare, polio, filariasis, kusta, tuberkulosis paru, HIV/AIDS, pneumonia, dan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Demam Berdarah Dengue (DBD) juga termasuk salah satu penyakit menular yang menjadi prioritas dalam upaya pencegahan dan pemberantasan (Bappenas, XXXX).
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) merupakan penyakit akibat infeksi virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk betina Aedes aegypti atau nyamuk Aedes albopictus. Penyakit DBD masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Penyakit ini ditemukan hampir di seluruh belahan dunia, terutama di daerah tropis dan subtropis (Djunaedi, 2006) .
Sudah lebih dari 100 negara tropis dan subtropis pernah mengalami outbreak atau letusan demam dengue dan demam berdarah dengue. Setiap tahunnya terdapat lebih kurang 500.000 kasus yang dirawat di rumah sakit dengan ribuan orang diantaranya meninggal dunia. Letusan penyakit DBD ini mempunyai dampak terhadap bidang sosial-ekonomi termasuk devisa dari sektor pariwisata. Negara Kuba pada tahun 1981 diperkirakan mengalami kerugian sebesar US$ 103.000.000 akibat adanya wabah. Sedangkan Thailand diperkirakan mengalami kerugian sebesar US$ 16.000.000 pada tahun 1987 (Rezeki dan Irawan, 2000).
Menurut laporan WHO pada tahun 2000, DBD telah melanda semua negara di Asia Selatan, Asia Tenggara, Australia, Amerika Utara, Amerika Tengah, Amerika Selatan, Kepulauan Pasifik, Caribbean, Cuba, Venezuela, Brazil, dan Afrika. Di Amerika, pada tahun 2001 dilaporkan terdapat lebih dari 600.000 kasus dengue dan sekitar 15.000 diantaranya adalah kasus DBD. Jumlah kasus ini meningkat 2 kali lipat jika dibandingkan dengan jumlah kasus pada tahun 1995. Sedangkan di Brazil ditemukan 400.000 kasus dengue dan 670 kasus diantaranya adalah kasus DBD (Djunaedi, 2006).
Berdasarkan data dari laporan WHO, antara tahun 1991-1995, insidens akibat infeksi virus dengue di Indonesia menempati peringkat ke-3 diantara negara Vietnam, Thailand, India, Myanmar, Amerika, Kamboja, Malaysia, Singapura, Filipina, Sri Lanka, Laos, dan negara-negara di kepulauan Pasifik, yaitu sebanyak 110.043 kasus. Sedangkan untuk jumlah kematian akibat infeksi virus dengue, Indonesia menempati peringkat pertama yaitu sebanyak 2.861 kematian dibandingkan dengan negara-negara tersebut. Angka kematian (Case Fatality Rate/CFR) kasus DBD di Indonesia juga menempati urutan ke-4 dibandingkan dengan negara-negara tersebut, yaitu sebesar 2,6% (Djunaedi, 2006).
Antara tahun 1968-1988 angka kematian akibat DBD di Indonesia cenderung menurun (Djunaedi, 2006). Pada tahun 1984, CFR (Case Fatality Rate) DBD menurun secara drastis, yaitu menjadi 3% dari 41,3% pada tahun 1968. CFR relatif stabil di bawah 3% sejak tahun 1991 (Rezeki dan Irawan, 2000). Walaupun CFR relatif menurun, namun insidens DBD cenderung meningkat dengan angka kejadian yang tinggi pada tahun 1998 (Djunaedi, 2006).
Pada tahun 1998 terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) DBD dengan Incidens Rate (IR) sebesar 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR (Case Fatality Rate) sebesar 2%. Pada tahun 1999 terjadi penurunan Incidence Rate sebesar 10,17%. Namun pada tahun-tahun berikutnya Incidens Rate cenderung meningkat yaitu pada tahun 2000 sebesar 15,99 per 100.000 penduduk, tahun 2001 sebesar 21,66 per 100.000 penduduk, tahun 2002 sebesar 19,24 per 100.000 penduduk, dan tahun 2003 sebesar 23,87 per 100.000 penduduk (Wulandari, 2008).
Pada tahun 2004, Menteri Kesehatan menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) untuk 12 propinsi yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Jambi, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Bali, NTB, dan NTT. Sejak 1 Januari-9 Maret 2004 di 25 propinsi, jumlah penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) telah mencapai 29.643 orang dan 408 orang di antaranya meninggal dunia (Pdpersi, 2008)
Pada 10 Agustus XXXX Menteri Kesehatan mendapat laporan bahwa penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) telah berjangkit di 30 propinsi dengan jumlah penderita 38.635 kasus dan 539 kasus meninggal dunia (CFR/Case Fatality Rate 1,4% dan Incidence Rate 17.6%). Angka kematian (Case Fatality Rate/CFR) tertinggi terjadi di Gorontalo (9,52%) disusul oleh Kalimantan Selatan (6,54%), dan Nangroe Aceh Darussalam (5,56%) (Wulandari, 2008). Tingkat kematian (CFR) DBD di Indonesia melebihi standar yang ditetapkan oleh WHO. WHO telah menetapkan bahwa CFR tidak lebih dari 1/100.000 (Sianturi, 2008).
Pada tahun XXXX, jumlah kasus DBD tertinggi dilaporkan terjadi di DKI Jakarta sebanyak 10.847 kasus dengan 57 kematian disusul oleh Jawa Timur dengan 6.007 kasus dengan 84 kematian. Angka kesakitan (Incidence Rate) tertinggi terjadi di DKI Jakarta (Incidence Rate 96,4 per 100.000 penduduk) disusul oleh Kalimantan Timur (61,7 per 100.000 penduduk), Sulawesi Utara (45,7 per 100.000 penduduk), Sulawesi Tenggara (35,2 per 100.000 penduduk), dan Bali (34,8 per 100.000 penduduk) (Depkes RI, 2008).
Pada tahun 2004 DKI Jakarta dinyatakan sebagai daerah KLB DBD dengan jumlah pasien DBD yang mencapai 20.640 orang dan 90 orang diantaranya meninggal dunia (Gatra, 2008). Propinsi DKI Jakarta dinyatakan kembali sebagai daerah KLB DBD (Demam Berdarah Dengue) pada XXXX. Sampai dengan bulan April XXXX, kawasan Jakarta Selatan menjadi daerah dengan jumlah pasien tertinggi, yaitu sebanyak 3.696 orang dengan 14 orang meninggal. Jumlah itu diikuti X dengan 3.066 pasien dan 10 orang meninggal, Jakarta Barat 1.717 orang dengan 7 orang meninggal, Jakarta Utara 1.439 dengan jumlah meninggal sebanyak 7 orang, dan Jakarta Pusat tercatat 1.176 pasien dan 3 orang meninggal (Gatra, 2008).
X sebagai wilayah dengan jumlah kasus DBD tertinggi ke-2 di DKI Jakarta pada tahun XXXX, memiliki beberapa kelurahan yang rawan DBD diantaranya yaitu Kelurahan Kramatjati, Cililitan, Cawang, dan Kampung Tengah. Dari keempat kelurahan tersebut terdapat 50 rukun warga (RW) yang rawan DBD. Menurut Cahyono, Seksi Penyakit Menular Sudin Kesmas X, sebagian besar penderita DBD adalah warga Kelurahan Cawang dan 20 persen dari total penderita DBD adalah anak usia sekolah dasar (5-14 tahun). Kelurahan Cawang rawan DBD karena ditemukan banyak genangan di tempat tersebut dan sering dilanda banjir. Bahkan Cawang telah dinyatakan sebagai wilayah endemis DBD (Pujiastuti, 2008).
Meningkatnya jumlah kasus Demam Berdarah Dengue berkaitan erat dengan dengan meningkatnya populasi nyamuk, terutama saat banyak turun hujan. Tingkat curah hujan yang tinggi turut memicu perkembangan populasi nyamuk. Karakter nyamuk Aedes yang menyukai bertelur di genangan air bersih menjadi salah satu faktor pemicu. Nyamuk Aedes biasanya hanya bertelur di bak-bak mandi dimana ada air bersih yang tergenang, namun ketika banyak turun hujan, tempat bersarang mereka bisa berpindah ke tempat-tempat saluran (got) yang airnya telah berganti akibat siraman hujan atau cekungan yang menampung air bersih (Pdpersi, 2008).
Sampai saat ini cara penanggulangan yang dilakukan untuk mencegah penyakit DBD masih terbatas pada memberantas nyamuk penularnya karena belum ada vaksin yang dapat mencegah DBD. Selain itu juga belum tersedianya obat yang dapat membasmi virus penyebabnya. Pemberantasan vektor dianggap sebagai cara yang paling memadai untuk memutuskan rantai penularan DBD (Dinkes DKI Jakarta, 2003).
Di negara-negara yang sering terjangkit DBD, pemberantasan nyamuk penular DBD dilakukan dengan berbagai macam cara. Di daerah Sarawak, Malaysia pemberantasan sarang nyamuk terutama Aedes albopictus dilakukan dengan cara menguras tempat-tempat penampungan air, mengubur barang-barang bekas, memotong bambu dan pemisahan kelopak tanaman coklat agar tidak ada air yang terkumpul didalamnya, serta menaburkan temephos pada tangki-tangki penampungan air hujan. Di Thailand, dilakukan perekrutan orang-orang dewasa yang memantau keberadaan jentik pada rumah-rumah yang dikunjungi. Mereka bertugas menyingkirkan tempat-tempat penampungan air yang tidak diperlukan dan menaburkan bubuk abate pada tempat-tempat yang mengandung larva nyamuk (Curtis, 1991).
Di Amerika, pemberantasan nyamuk Aedes aegypti dilakukan dengan memasukkan butiran temephos ke tempat-tempat penampungan air serta melakukan pengasapan di rumah dan di jalan dengan malathion. Selain itu juga dengan cara membuang barang-barang yang sudah tidak diperlukan yang dapat menampung air, menggunakan bunga tiruan untuk rumah dan kuburan agar tidak ada vas bunga yang menjadi tempat perindukan nyamuk, serta adanya sanksi hukum apabila ada pemilik rumah/bangunan yang di rumahnya terdapat jentik nyamuk (Curtis, 1991).
Di Singapura, pencegahan penyakit DBD dilakukan dengan cara mengadakan pendidikan kesehatan kepada masyarakat yang didalamnya memuat pengetahuan-pengetahuan untuk memasang kain kasa pada jendela, mengganti air pada vas bunga, menambahkan garam pada perangkap semut, membuang tempat-tempat penampungan air yang sudah tidak berguna, membersihkan selokan agar aliran airnya tidak tersumbat, dan menaburkan temephos pada tempat-tempat yang diperkirakan akan menjadi tempat perindukan nyamuk. Selain itu juga adanya sanksi hukum bagi pemilik rumah/bangunan yang di dalam rumahnya terdapat jentik nyamuk (Curtis, 1991).
Dibandingkan dengan negara-negara di wilayah Asia Tenggara, Singapura merupakan negara yang mempunyai salah satu program kesehatan masyarakat terbaik. Angka House Indeks nyamuk Aedes aegypti di Singapura hanya sekitar 1-2% (Angka Bebas Jentiknya sekitar 98-99%). Negara-negara di wilayah Asia Tenggara lainnya, angka House Indeks nyamuk Aedes aegypti masih sekitar 30% bahkan lebih. Selain itu angka kesakitan DBD di Singapura adalah yang paling rendah meskipun kepadatan penduduknya tinggi (4500/km2) sehingga mudah untuk penularan virus (Curtis, 1991).
Di Indonesia, pemberantasan nyamuk Aedes aegypti dilakukan dengan cara memberantas Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3 M, larvasida selektif, memasang ovitrap (perangkap telur nyamuk), memelihara ikan pemakan jentik, serta dengan cara pengasapan atau penyemprotan (fogging) menggunakan insektisida. Walaupun demikian, Angka Bebas Jentik di Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan Singapura. Sampai bulan Juni XXXX, Angka Bebas Jentik di kota/kabupaten di Indonesia masih sekitar 60-80%, diantaranya yaitu Bogor (70%0, Denpasar (85%), Jakarta (80%), Kendari (65%), Mataram (62%), dan Surabaya (60%). Padahal target Angka Bebas Jentik yang harus dicapai adalah sebesar 95% (Subdirektorat Arbovirosis Ditjen P2M & PL, XXXX).
Angka Bebas Jentik di X dari tahun XXXX sampai tahun 2006 cenderung meningkat. Pada tahun XXXX Angka Bebas Jentik X sebesar 93,03% dan pada tahun 2006 Angka Bebas Jentiknya mencapai 96,63% (Sudinkesmas Kodya X, 2006).
Sejak adanya Surat Edaran Gubernur Propinsi DKI Jakarta No 46 pada tanggal 4 November 2004 mengenai Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) di Propinsi DKI Jakarta yang diikuti dengan adanya Surat Keputusan Walikotamadya X, maka setiap hari Jumat mulai pukul 09.00 hingga pukul 09.30 di wilayah X selalu dilaksanakan kegiatan PSN.
Angka Bebas Jentik di wilayah X pada tahun 2006 yang cenderung meningkat (dari 93,03% pada tahun XXXX menjadi 96,63% pada tahun 2006) dan telah melebihi target Angka Bebas Jentik nasional (95%), maka dapat diasumsikan bahwa potensi penularan DBD di wilayah X cenderung menurun, sehingga Insidens Rate DBD juga akan menurun. Namun pada kenyataannya, peningkatan Angka Bebas Jentik ini tidak diikuti dengan penurunan Insidens Rate DBD. Insidens Rate DBD dari tahun XXXX sampai tahun 2006 cenderung meningkat. Pada tahun XXXX, Insidens Rate DBD X adalah 282,3 per 100.000 penduduk dan mengalami peningkatan menjadi 344 per 100.000 penduduk pada tahun 2006 (Sudinkesmas Kodya X, 2006).

1.2. Rumusan Masalah
Dari tahun XXXX sampai tahun 2006 di wilayah X terjadi peningkatan Angka Bebas Jentik yang melebihi target Angka Bebas Jentik Nasional. Namun peningkatan Angka Bebas Jentik ini tidak diikuti dengan penurunan Insidens Rate DBD di wilayah X. Insidens Rate DBD di wilayah X dari tahun XXXX sampai tahun 2006 cenderung meningkat. Berdasarkan masalah tersebut perlu diketahui apakah ada hubungan antara Angka Bebas Jentik dengan Insidens Rate kasus tersangka DBD di tingkat kecamatan Kotamadya X Tahun XXXX-XXXX.

1.3. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana distribusi frekuensi kasus tersangka DBD menurut orang (umur dan jenis kelamin) di Kotamadya X tahun XXXX-XXXX?
2. Bagaimana distribusi frekuensi kasus tersangka DBD menurut kecamatan di Kotamadya X tahun XXXX-XXXX?
3. Bagaimana distribusi frekuensi kasus tersangka DBD menurut bulan di Kotamadya X tahun XXXX-XXXX?
4. Bagaimana distribusi Insidens Rate kasus tersangka DBD menurut kecamatan di Kotamadya X tahun XXXX-XXXX?
5. Bagaimana distribusi Case Fatality Rate kasus tersangka DBD menurut kecamatan di Kotamadya X tahun XXXX-XXXX?
6. Bagaimana distribusi perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) pada masyarakat sekolah di Kotamadya X tahun XXXX?
7. Bagaimana distribusi Angka Bebas Jentik menurut kecamatan di Kotamadya X tahun XXXX-XXXX?
8. Bagaimana hubungan antara Angka Bebas Jentik dengan Insidens Rate kasus tersangka DBD di tingkat kecamatan Kotamadya JakaraTimur Tahun XXXX-XXXX?

1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara Angka Bebas Jentik dengan Insidens Rate kasus tersangka DBD di tingkat kecamatan Kotamadya JakaraTimur Tahun XXXX-XXXX.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui distribusi frekuensi kasus tersangka DBD menurut orang (umur dan jenis kelamin) di Kotamadya X tahun XXXX-XXXX.
2. Mengetahui distribusi frekuensi kasus tersangka DBD menurut kecamatan di Kotamadya X tahun XXXX-XXXX.
3. Mengetahui distribusi frekuensi kasus tersangka DBD menurut bulan di Kotamadya X tahun XXXX-XXXX.
4. Mengetahui distribusi Insidens Rate kasus tersangka DBD menurut kecamatan di Kotamadya X tahun XXXX-XXXX.
5. Mengetahui distribusi Case Fatality Rate kasus tersangka DBD menurut kecamatan di Kotamadya X tahun XXXX-XXXX.
6. Mengetahui distribusi perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) pada masyarakat sekolah di Kotamadya X tahun XXXX.
7. Mengetahui distribusi Angka Bebas Jentik menurut kecamatan di Kotamadya X tahun XXXX-XXXX.
8. Mengetahui hubungan antara Angka Bebas Jentik dengan Insidens Rate kasus tersangka DBD di tingkat kecamatan Kotamadya JakaraTimur Tahun XXXX-XXXX.

1.5.Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Bagi Institusi
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan informasi dalam mengevaluasi dan menyusun langkah-langkah pelaksanaan program pencegahan dan pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) bagi pengelola program Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue (P2 DBD).
1.5.2. Manfaat Bagi FKM
Hasil penelitian ini sebagai tambahan referensi dalam mengakaji masalah kesehatan masyarakat khususnya masalah penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) yang jumlah kasusnya terus meningkat dari tahun ke tahun.
1.5.3. Manfaat Bagi Penulis
Penelitian ini sebagai pembelajaran nyata dan berharga untuk memahami dan mengakaji masalah kesehatan yang ada di masyarakat dan sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu kesehatan masyarakat.

1.6.Ruang Lingkup
Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan desain studi korelasi, yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Angka Bebas Jentik dengan Insidens Rate kasus tersangka DBD di tingkat kecamatan Kotamadya X tahun XXXX-XXXX. Penelitian ini dilakukan melihat adanya Angka Bebas Jentik Kotamadya X pada tahun XXXX yang sudah sesuai dengan target yang ditentukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta yaitu >95%, namun Insidens Rate DBD terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari Suku Dinas Kesehatan Masyarakat Kotamadya X dan web site Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta. Data tersebut diolah dengan MS Excell dan dianalisis dengan SPSS 13.0 for Windows untuk menguji ada tidaknya hubungan Angka Bebas Jentik (ABJ) dengan Insidens Rate kasus tersangka DBD di tingkat kecamatan Kotamadya X tahun XXXX-XXXX.

Postingan terkait: