Pemberian Nafkah Bagi Mantan Isteri Menurut Hukum Islam (Studi Atas Pemikiran Asghar Ali Engineer)

BAB I
PENDAHULUAN

            A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan sangatlah penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan, manusia sebagai makhluk  yang berkehormatan, pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tentram dan penuh rasa kasih sayang antara suami dan isteri.
Dalam hubungan perkawinan banyak menimbulkan berbagai konsekwensi sebagai dampak adanya perikatan (Aqad) baru yang terjalin, antara lain terjalinnya ikatan kekeluargaan di antara keduanya, di samping itu hubungan perkawinan juga membuahkan adanya hak-hak baru yang sebelumnya tidak ada, kewajiban-kewajiban baru antara pihak yang satu terhadap yang lainnya, di antara kewajiban–kewajiban itu, termasuk kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada isterinya.
Jika seorang isteri telah menyerahkan dirinya kepada suaminya dan suami itu telah bersenang-senang kepadanya, sedangkan suami isteri tersebut termasuk orang yang ahlu al-istimta>  dalam perkawinan yang sah maka wajib kepada suami untuk memberikan nafkah dan diserahkan dengan sepantasnya,dan hal ini sesuai dengan hadis Nabi Saw:
 فاتّقوا الله في النساء فإنّكم أخذ تموهنّ بأمانة الله واستحللتم فروجهنّ بكلمة الله ولكم عليهنّ إلا يوطئن فراشكم أحدا تكرهونه فإنّ فعلن ذلك فاضربوهنّ ضربا غير مبرح ولهنّ عليكم رزقهنّ وكسوتهنّ بالمعروف

Apabila seorang isteri taat kepada suaminya maka wajib bagi suami memberikan nafkah, sedangkan jika suami tidak memberikannya hingga lewat suatu masa maka nafkah tersebut menjadi hutang suami (nafkah qada>) karena tanggungannya, dan tidaklah gugur hutang tersebut dengan melewati suatu masa.
Ibnu Hazm seperti dikutip oleh as-Sayyid Sabiq berkata: “suami berhak menafkahi isterinya sejak terjalinnya akad nikah baik suami mengajak hidup serumah atau tidak, baik isteri masih di buaian atau isteri berbuat nusyuz atau tidak, kaya atau fakir, masih punya orang tua atau yatim piatu, gadis atau janda, merdeka atau budak, semua itu disesuaikan dengan keadaan dan kesanggupan suami”.
Tanggung jawab suami, tidak hanya ketika seorang wanita itu masih menjadi isterinya yang sah, akan tetapi kewajiban untuk memberikan nafkah juga pada saat perceraian, karena pada hakekatnya ucapan cerai itu baru berlaku setelah habis masa ‘iddahnya.Berkaitan dengan nafkah Allah SWT berfirman:
وعلي المولود له رزقهنّ وكسوتهنّ بالمعروف
Terputusnya perkawinan dalam Islam membawa akibat-akibat tertentu baik kepada mantan suami atau kepada mantan isteri. Akibat hukum terputusnya perkawinan karena talak adalah:
Bahwa bekas suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya baik berupa uang atau benda, kecuali qabla ad dukhu>l; memberikan nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada bekas isteri selama masa iddah (menunggu), kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyu>z; melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separo apabila qabla ad-dukhu>l; memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun. dan memberikan nafkah iddahnya kepada bekas isterinya, kecuali isterinya nusyuz.

Kewajiban-kewajiban tersebut melekat pada diri suami dan harus dipenuhi oleh suami karena  merupakan hak-hak isteri sebagai akibat hukum dari cerai talak, dan tanggung jawab nafkah dalam kasus perceraian itu sesuai dengan firman Allah SWT:
أسكنوهنّ من حيث سكنتم من وجدكم ولا تضارّوهنّّ لتضيّقوا عليهنّ  وإن كنّ أولات حمل فأنفقوا عليهنّ  حتّي يضعن حملهنّ فإن أرضعن لكم فأتوهنّ أجورهنّ وأتمروا بينكم بمعروف وإن تعاسرتم فسترضع له أخرى.

Menurut mazhab Abu Hani>fah, mantan suaminya wajib memberikan nafkah kepada mereka (mantan isteri) secara komplit dan utuh  baik makanan, pakaian, dan tempat tinggal selama masa ‘iddah, menurut ulama Mujtahiddin, bahwa wajib kepada seseorang untuk menafkahi orang-orang yang wajib diberikan nafkah seperti isterinya, ayahnya serta anaknya yang masih kecil (belum sampai umur). Sedangkan menurut para ulama Maliki suami berkewajiban untuk menyediakan akomodasi bagi isteri yang dicerainya, bila dia telah bercampur dengannya, meskipun demikian, sang suami tak wajib memberikan nafkah kepada isteri yang dicerai talak tiga, tetapi wanita yang hamil tetap mendapatkan nafkahnya baik talak satu maupun talak tiga.
                Sedangkan berkaitan dengan ‘iddah bagi mantan isteri yang dicerai suaminya yang masih hidup (cerai Hidup), adalah: a. Jika perempuan itu masih haid, ‘iddahnya 3 kali sucian; b. Jika perempuan yang ditalak belum/ tidak haid karena belum saatnya (misalnya: usianya masih sedikit atau tidak haid lagi karena sudah tua maka ‘iddahnya 3 bulan).
Berkaitan dengan persoalan di atas kemudian muncul seorang tokoh feminis muslim asal India, yaitu Asghar Ali Engineer, yang dilahirkan pada tanggal 10 Maret 1949 di Bombay, yang mempunyai pendapat berbeda dengan fuqaha yang lain mengenai pemberian nafkah bagi isteri yang telah dicerai. Dia adalah seorang Direktur Institut of Islamic Studies, Bombay, India, di samping itu dia juga seorang teolog Islam dengan reputasi Internasional. Dia sudah menulis banyak buku, paper penelitian dan artikel tentang teologi, yurisprudensi, sejarah dan filsafat Islam serta memberi kuliah di berbagai Negara, dia juga adalah seorang feminis muslim yang gigih dalam penegakan kesetaraan gender dan perjuangan untuk menetapkan relasi gender yang berkeadilan dalam Islam. Penulis memilih Asghar disebabkan karena Asghar di mata para tokoh feminis mempunyai kedudukan yang istimewa. Pertama, karena ia menempatkan masalah-masalah pandangan yang berkembang dalam dunia Islam tentang perempuan dari sudut/metode pendekatan yang tidak hanya terbatas pada masalah fiqh akan tetapi juga mencakup aspek filsafat, antropologi, sosiologis dan sejarah. Kedua, dia menyajikan tulisannya dalam prespektif tantangan sosio kultural yang dihadapi dunia Islam zaman modern ini. Di samping pandangannya yang cukup revolusioner dalam bidang teologi yaitu perlunya dikembangkan “teologi pembebasan Islam” namun Asghar juga memiliki pandangan yang cukup liberal dalam menginterpretasikan suatu teks yang dianggap bias gender. Salah satunya adalah  mengenai pemberian nafkah bagi mantan isteri yang dicerai.
Menurut Asghar pemberian nafkah bagi mantan isteri yang telah diceraikan tidak hanya selama masa ‘iddah saja, akan tetapi sampai menikah lagi atau mati,sebagian pemimpin Islam menganggap bahwa hukum Islam itu suci dan tidak bisa diubah, para pemimpin ini mempropagandakan, dalam Islam mantan isteri yang diceraikan itu hanya dapat jatah nafkah pada periode ‘iddah, bahkan ada diantara pemimpin itu berpendapat bahwa memberikan nafkah di luar periode tersebut adalah dosa.
Menurut Asghar adalah jauh dari rasa keadilan bila isteri yang dicerai harus dipelihara oleh orang tua atau kerabatnya setelah periode ‘iddah, adalah benar bahwa dalam hukum Islam seorang yang telah dicerai berhak mendapatkan nafkah hanya selama masa ‘iddah, setelah itu dia bebas untuk kawin lagi atau kembali kepada orang tuanya atau jika sudah tidak punya orang tua atau kepada kerabatnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam, berkaitan dengan QS. al-Baqarah: 241, yang menegaskan bahwa perempuan yang ditalak berhak atas mata' dengan ma'ru>f, sebagai hak atas orang-orang yang bertaqwa. Mata' dengan ma'ru>f  biasanya diartikan sebagai hiburan yang pantas, berupa sejumlah harta yang diberikan kepada isteri yang ditalak, untuk memperluas arti mata' sebagaimana disebutkan dalam al-Quran yang dikaitkan pula dengan ma'ru>f (yang pantas), tidak ada halangan apabila pengadilan dalam kasus-kasus perceraian tertentu memutuskan ujud dari mata' itu berupa sejumlah uang yang dapat menjadi biaya hidup mantan isteri sehabis masa ‘iddah, untuk waktu tertentu.
Sedangkan dasar filosofis yang dikemukakan Asghar adalah bahwa semua manusia adalah sama, merdeka dan makhluk berakal yang memberi kecenderungan kepada persamaan dan keadilan. Oleh karena itu secara natural akan selalu melawan segala bentuk penindasan, diskriminasi dan ketidakadilan dalam segala hal. Dengan menggali nilai-nilai revolusioner dalam kitab suci dan semangat perjuangan para nabi, khusunya Nabi Muhammad dalam menegakkan nilai-nilai keislaman sebagai sumber inspirasi dalam mengkritisi realitas praksis sejarah, Asghar berpendapat bahwa Islam sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat wanita sehingga tidak ada subordinasi atas wanita. Yang ada hanya kesetaraan gender dalam Islam.
Berangkat dari pendapat Asghar Ali Engineer yang kontroversi dengan pendapat jumhur ulama dan Kompilasi Hukum Islam, maka menjadi sangat penting kiranya masalah ini diteliti lebih mendalam melalui skripsi ini, sebagai kontribusi dan kajian ulang pemikiran dalam pengembangan kajian kontemporer.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:
1.       Bagaimana kriteria bagi wanita yang berhak mendapatkan nafkah dari mantan suaminya menurut Asghar? dan bagaimanakah Asghar memahami ayat-ayat al-Qur’an tentang pemberian nafkah bagi mantan isteri?
2.   Bagaimana relevansinya dengan konteks sekarang?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.     Tujuan Penelitian
a.     Untuk menjelaskan bagaimana pandangan Ashgar Ali Engineer kriteri-kriteria bagi mantan isteri yang berhak untuk mendapatkan nafkah, dan untuk menjelaskan pandangan-pandangan Asghar dalam memahami tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan nafkah bagi mantan isteri.
b.     Untuk menjelaskan bagaimana relevansi pendapat Asghar dengan konteks sekarang.

Dapatkan File Selengkapnya  (BAB I, BAB II, BAB III, BAB IV - Kesimpulan, dan Daftar Pustaka .).. LihatDisini


Postingan terkait: