Analisis Nilai-Nilai Profetik Dengan Kerangka Filsafat Pendidikan Dan Implikasinya Bagi Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam

(Kode PEND-AIS-0016) : Analisis Nilai-Nilai Profetik Dengan Kerangka Filsafat Pendidikan Dan Implikasinya Bagi Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Studi atas Pemikiran Kuntowijoyo)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dunia yang senantiasa berkembang, berkonsekuensi pada perubahan realitas, baik yang tampak ataupun tidak tampak. Umat Islam pun mau tidak mau, suka tidak suka harus mampu menyesuaikan diri atau berdinamisasi dengan perkembangan global yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta industrialisasi yang massif. Transformasi (perubahan) sosial umat Islam guna menyelaraskan dengan tuntutan zaman, tentunya, harus tetap dalam bingkai ajaran Islam. Maka agama harus mampu menjawab persoalan-persoalan kontemporer yang muncul.
Relevansi penafsiran agama dalam merespon perubahan dunia yang begitu dahsyat menjadi sebuah tuntutan. Sebagaimana dilansir oleh Mun'im A. Sirry bahwa saat ini umumnya, agama yang kehilangan kemampuan untuk merespon secara kreatif perubahan sosial, kerap menampakkan wajah fundamentalistiknya. Jika agama gagal membimbing umatnya, maka agama akan memasung pengikutnya pada lembah kebingungan, kefrustasian, dan pada akhirnya memunculkan reaksi destruktif, konflik, dan kekerasan. Dengan kata lain, kesulitan dalam mengatasi perubahan sosial dapat menyebabkan agama kehilangan pengaruh dan relevansinya.
Menurut Kuntowijoyo, pemahaman terhadap ajaran Islam, lebih khusus lagi pada aspek teologi memerlukan penafsiran-penafsiran baru dalam rangka memahami realitas yang senantiasa berubah. Usaha melakukan reorientasi pemahaman keagamaan, baik secara individual maupun kolektif adalah untuk menyikapi kenyataan-kenyataan empiris menurut perspektif ketuhanan. Jadi, ajaran agama perlu diberi interpretasi atau tafsir baru dalam rangka memahami realitas.
Tafsir baru dalam rangka memahami realitas ini dapat dilakukan dengan cara mengelaborasi ajaran agama ke dalam bentuk suatu teori sosial. Ini dipilih karena akan mampu merekayasa perubahan melalui bahasa yang obyektif dan lebih menekankan bahwa bidang garapannya lebih bersifat empiris, historis, dan temporal. Ruang lingkup yang menjadi sasaran dari teori sosial ini adalah pada rekayasa untuk transformasi sosial. Maka muncullah konsep ilmu sosial yang dicetuskan oleh Kuntowijoyo, yaitu Ilmu Sosial Profetik (ISP). ISP adalah ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa.
ISP secara sengaja memuat kandungan nilai- nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan masyarakat. Nilai ini diderivasikan dari misi historis Islam sebagaimana yang terkandung dalam Al-Qur’an Surat Al-Imran ayat 110, yang artinya :
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah”
Tiga muatan nilai sebagai karakterik ISP dari ayat di atas adalah : 1) humanisasi (menyuruh kepada yang ma’ruf atau menegakkan kebaikan), 2) liberasi (mencegah kemunkaran), dan 3) transendensi (beriman kepada Allah).5 Asal usul pemikiran ISP Kuntowijoyo ini diilhami oleh tulisan-tulisan Muhammad Iqbal dan Roger Garaudi. Dalam buku Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam karya Iqbal, diungkapkan pengalaman Nabi Muhammad yang telah sampai ke tempat yang paling tinggi, yang menjadi dambaan setiap insan, tetapi Nabi Muhammad tetap kembali ke dunia untuk menunaikan tugastugas kerasulannya. Nabi Muhammad menjadikan pengalaman itu sebagai kekuatan psikologis untuk mengubah kemanusiaan. Sunnah nabi ini yang dinamakan etika profetik . Dari Roger Garaudy, konsep filsafat profetik-nyalah yang mengilhami Kuntowijoyo, yaitu anjuran agar umat manusia memakai filsafat kenabian dari Islam dengan mengakui wahyu, karena filsafat barat sudah ‘membunuh’ Tuhan dan manusia (Garaudy, 1982 : 139-168).6
Pemaknaan atas ayat Al Qur’an yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo di atas, dalam pandangan Abdul Munir Mulkhan, ditempatkan sebagai cara atau metode penerapan ajaran Islam dalam realitas kehidupan empirik. Jadi, bagaimana sebuah makna itu berhubungan dengan penyelesaian problem kehidupan.
Menanggapi konsep ISP Kuntowijoyo ini, M. Syafii Anwar dalam Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia menyebut pemikiran Islam Kuntowijoyo sebagai pemikiran ‘Islam Transformatik’, yaitu pemikiran yang bertolak dari pandangan dasar bahwa misi Islam yang utama adalah kemanusiaan. Ia menambahkan, bahwa transformasi Islam idealnya merujuk pada pemecahan-pemecahan masalah empiris dalam bidang ekonomi, pengembangan masyarakat, penyadaran hak-hak politik rakyat, orientasi keadilan sosial, dan lainnya sehingga masyarakat bebas dari belenggu ketidakadilan, kebodohan, dan keterbelakangan.
Senada dengan M. Syafii Anwar, Andar Nubowo menyatakan corak pemikiran Kuntowijoyo adalah sebuah teologi yang mampu menggerakkan rakyat di bawah untuk mengubah dirinya dan berperan dalam perubahan sosial yang mendasar. Di sini, Islam dimaknai sebagai sumber refleksi dan aksi gerakan transformasi sosial untuk memecahkan problem ketertindasan, keterbelakangan sebagai efek dari globalisasi dan neoliberalisasi. Islam Transformatif menghendaki agama sebagai ruang transformasi sosial yang mampu melakukan pemberdayaan (empowerment) terhadap masyarakat. Dalam konteks ini, Islam dapat menemukan ruang artikulasi baru yang mampu menciptakan praksis sejarah yang lebih adil. Sesuai dengan pesan fundamental Islam yang terbuka, Islam harus terus memiliki tafsiran-tafsiran baru yang memberikan inspirasi terhadap counter hegemony sistem yang menindas, dan berpihak pada kaum miskin yang termarginalkan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mengarahkan pada terbentuknya masyarakat industrial yang mengglobal dengan berbagai karakteristik dan persoalan yang ditimbulkan. Dalam pandangan Ian Suherlan, masyarakat industrial akan melaju di tengah-tengah mesin-mesin politik dan mesin-mesin pasar yang salah satu dampaknya adalah munculnya kekejaman kemiskinan, keangkuhan teknologi, dan pemerasan. 9 Masyarakat industri adalah masyarakat yang penuh intrik dan persaingan, penuh dengan resiko. Penindasan secara individual maupun kolektif, secara kultur atau struktur, sangat mungkin terjadi. Di sini, Islam harus mampu memperlihatkan perannya dalam mengatasi penindasan itu.
Disisi lain, kriminalitas, kemerosotan akhlaq, dan pola kehidupan yang melupakan Tuhan menjadi fenomena. Fakta ini menggambarkan seolah-olah agama tidak fungsional dalam masyarakat, tidak mampu menyelesaikan problematika kehidupan dan kemanusiaan. Menurut Kuntowijoyo, proses industrialisasi dan modernisasi akan selalu mengancam nilai-nilai agama (termasuk di dalamnya nilai-nilai kemanusiaan).
Pandangan Kuntowijoyo di atas, selaras dengan apa yang dikatakan oleh Syahrin Harahap (1998), bahwa salah satu ciri dari masyarakat industrial adalah terciptanya budaya dunia yang cenderung mekanistis, efisien, dan sekaligus tidak menghargai nilai dan norma yang secara ekonomi dianggap tidak menguntungkan.11 Implikasi lanjutannya adalah munculnya pribadi-pribadi yang miskin spiritual; menjatuhkan manusia dari makhluk spiritual ke lembah materialindividualistis; eksistensi Tuhan hanya berdiam di relung pemikiran, diskusi, khutbah-khutbah baik lisan maupun tulisan; dan mengalami frustasi eksistensial (existential frustation) dengan ciri-ciri : hasrat yang berlebihan untuk berkuasa (the will to power), bersenang-senang mencari kenikmatan (the will to pleasure) dengan uang-kerja-seks, dan perasaan hidup tanpa makna, seperti bosan, apatis, dan tak punya tujuan. Lebih jauh lagi, peran agama digeser hanya menjadi persoalan akhirat yang tidak memiliki keterpautan dengan perkembangan global dan orientasi serta pembangunan masa depan.
Dari berbagai problematika di atas, maka harus ada nilai-nilai ideal yang diharapkan mampu meng-counter atau mengatasi problematika tersebut. Agama sebagai pegangan hidup manusia serta merupakan sumber nilai menjadi harapan untuk itu. Maka disini tampak pentingnya nilai- nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi yang dicetuskan oleh Kuntowijoyo, yang dipetik dari Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan sumber nilai bagi umat Islam dalam mengantisipasi dan mengatasi kecenderungan masyarakat industrial tersebut.
Humanisasi, dalam pandangan Kuntowijoyo dimaksudkan sebagai memanusiakan manusia, yaitu upaya menempatkan posisi manusia sebagai makhluk yang mulia sesuai dengan kodrat atau martabat kemanusiaannya.13 Berdasarkan pemahaman ini, maka konsep humanisasi Kuntowijoyo berakar pada humanisme-teosentris, yaitu manusia harus memusatkan diri kepada Tuhan, tetapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia sendiri.14 Adapun liberasi yang dimaksud Kuntowijoyo adalah nilai- nilai yang memiliki tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu. 15
Transendensi adalah unsur terpenting dari ajaran sosial Islam yang terkandung dalam ISP dan sekaligus menjadi dasar dari dua unsur lainnya, yaitu humanisasi dan liberasi. Yang dimaksud transendensi dalam pandangan Kuntowijoyo adalah konsep yang diderivasikan dari tu’minuuna bi Allah (beriman kepada Allah), atau bisa juga istilah dalam teologi (misalnya persoalan Ketuhanan, makhluk-makhluk ghaib).16 Kuntowijoyo melanjutkan, transendensi ini akan memberi arah ke mana dan untuk tujuan apa humanisasi dan liberasi itu dilakukan. Adapun bagi umat Islam, transendensi tentunya beriman kepada Allah SWT. 17
Sementara dalam pandangan Muhammadun AS, saat ini perlu kiranya umat beragama meneguhkan kembali semangat profetik agama di tengah masyarakat dewasa ini, sebagaimana dicetuskan oleh Kuntowijoyo. Humanisasi (moderasi dalam pandangan Muhammadun) adalah bagaimana agama mampu menjadi perangkat dalam menegakkan kebajikan di muka bumi. Agama adalah spirit manusia untuk melakukan kerja-kerja sosial dalam rangka membawa kemaslahatan bagi semesta alam. Agama akan selalu berdiri tegak memberikan pencerahan, baik melalui ritualitas maupun transformasi sosial. Sementara liberasi adalah menempatkan agama sebagai kekuatan untuk membebaskan manusia dari berbagai ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan kriminalitas sosial lainnya. Spirit pembebasan yang lahir dari agama akan menjelma menjadi kekuatan revolusioner karena didukung oleh teks-teks ayat suci. Sedangkan transendensi adalah menempatkan agama sebagai ruh terhadap segala perilaku umat manusia. Misi transenden akan selalu menempatkan perilaku manusia sebagai perilaku yang mendapatkan ”legitimasi penuh” dari Sang Pencipta. Atau dengan kata lain, transendensi adalah wujud transformasi Sang Pencipta kepada alam semesta yang diwakilkan kepada makhluk-Nya yang bernama manusia.18
Upaya menanamkan dan memupuk nilai-nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi akan lebih efektif dilakukan melalui proses pendidikan. Proses pendidikan, tidak akan pernah lepas dari penanaman nilai-nilai, guna membentuk profil manusia yang dewasa secara pola pikir, sikap, dan tingkah laku serta berakhlakul karimah.
Hal ini selaras dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Barnadib, bahwa tugas pendidikan adalah sebagai perantara atau pembawa nilai- nilai yang ada di dalam ‘gudang’ di luar ke jiwa anak didik. Ini berarti bahwa anak didik itu perlu dilatih agar mempunyai kemampuan absorbsi yang tinggi.19
Salah satu komponen yang sangat penting dalam pendidikan adalah kurikulum. Kurikulum sebagai acuan atau program untuk mencapai tujuan pendidikan berpengaruh besar dalam membentuk output pendidikan berkualitas. Pun juga nilai- nilai yang tertanam dalam peserta didik juga bergantung pada nilainilai yang terkandung dalam kurikulum yang menjadi acuan. Terlebih lagi bila berbicara tentang Pendidikan Agama Islam (PAI), dimana penanaman nilai-nilai menjadi suatu hal yang dominan, yang akan berefek pada aspek afektif dan psikomotor sebagai wujud nyata kesalehan vertikal dan kesalehan horizontal dalam diri peserta didik.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji dan menganalisis konsep nilainilai profetik perspektif Kuntowijoyo dengan kerangka filsafat pendidikan, kemudian apa implikasinya bagi pengembangan kurikulum PAI. Yang dimaksud kurikulum PAI di sini adalah kurikulum PAI di jenjang menengah. Jenjang ini dipilih dengan asumsi bahwa output jenjang ini telah dianggap cukup dewasa secara fisik, psikis maupun intelektual dan mampu bereksistensi dalam kehidupan kemasyarakatan. Ditemukannya implikasi dari nilai-nilai profetik perspektif Kuntowijoyo terhadap pengembangan kurikulum PAI ini diharapkan dapat menjadi sebuah alternatif kriteria bagi pengembangan kurikulum PAI di masa depan.

B. Rumusan Masalah
Untuk menfokuskan kajian dan menghasilkan penelitian yang utuh, sistematis, dan terarah, maka penulis membatasi masalah yang dikaji yaitu Analisis Nilai- Nilai Profetik dengan Kerangka Filsafat Pendidikan dan Implikasinya Bagi
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Studi Atas Pemikiran Kuntowijoyo) sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep nilai- nilai profetik perspektif Kuntowijoyo?
2. Bagaimana analisis nilai-nilai profetik dengan kerangka Filsafat Pendidikan?
3. Bagaimana implikasi nilai-nilai profetik terhadap pengembangan kurikulum PAI?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian atau pengkajian ini sengaja dilakukan dengan tujuan :
1. Untuk mengetahui konsep nilai- nilai profetik perspektif Kuntowijoyo
2. Untuk mengetahui hasil analisis nilai- nilai profetik dengan kerangka Filsafat Pendidikan.
3. Untuk mengetahui implikasi dari nilai- nilai profetik terhadap pengembangan kurikulum PAI.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Ingin memberikan wawasan kepada seluruh elemen masyarakat, khususnya pelaku dan pemerhati pendidikan Islam tentang konsep nilai-nilai profetik perspektif Kuntowijoyo. Penulis ingin memberikan gambaran secara lugas dan gamblang tentang konsep nilai-nilai profetik yang diusung oleh Kuntowijoyo, dan penulis ingin menyampaikan bahwa perkembangan peradaban manusia dengan kemajuan pesat di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, serta industrialisasinya, menuntut respon yang komprehensif dari dunia pendidikan Islam, agar disatu sisi, pendidikan Islam tidak terlindas dan mampu beradaptasi dengan tuntutan zaman, sementara disisi lain, pendidikan Islam masih tetap memegang teguh nilai- nilai moral, etika, dan spiritualitas.
2. Ingin memberikan pengetahuan yang konstruktif kepada para akademisi dan pemikir pendidikan Islam, bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan kualitas pendidikan Islam adalah kurikulum. Maka pengembangan kurikulum yang komprehensif dan mampu berdialog dengan realitas global, mampu berdinamisasi dengan tuntutan zaman, serta responsif terhadap kecenderungan perubahan masyarakat, adalah sesuatu yang perlu (bahkan suatu keharusan)
3. Ingin memberikan sumbangsih pemikiran kepada praktisi dan akademisi pendidikan Islam dalam hal pengembangan kurikulum PAI. Bahwa pengembangan kurikulum PAI yang berbasiskan nilai-nilai profetik merupakan suatu keniscayaan dalam dunia pendidikan Islam agar output pendidikan ini mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan globalisasi tanpa kehilangan ruh keislamannya.

E. Definisi Operasional

** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **

F. Metode Penelitian

** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **

G. Sistematika Pembahasan

** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **

Postingan terkait: