Tesis Perencanaan Pembangunan Partisipatif (Studi Tentang Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota X)

(Kode STUDPEMBX0017) : Tesis Perencanaan Pembangunan Partisipatif (Studi Tentang Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota X)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Pembangunan adalah sebagai sebuah proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping, tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan (Todaro, 2000 : 20). Pembangunan juga diartikan sebagai suatu proses kperubahan sosial dengan partisipatori yang luas dalam suatu masyarakat yang dimaksudkan untuk mencapai kemajuan sosial dan material (termasuk bertambah besarnya keadilan, kebebasan dan kualitas lainnya yang dihargai) untuk mayoritas rakyat melalui kontrol yang lebih besar yang mereka peroleh terhadap lingkungan mereka. (Rogers,1983 : 25). Pada hakekatnya pembangunan harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan, tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya, untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang lebih serba baik, secara material maupun spritual (Todaro, 2000 : 20).
Untuk mencapai keberhasilan pembangunan tersebut maka banyak aspek atau hal-hal yang harus diperhatikan, yang diantaranya adalah keterlibatan masyarakat di dalam pembangunan. Asumsi para pakar yang berpendapat bahwa semakin tinggi kepedulian atau partisipasi masyarakat pada proses-proses perencanaan akan memberikan output yang lebih optimal. Semangkin tinggi tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan, maka semakin tinggi pula tingkat keberhasilan yang akan dicapai. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat merupakan indikator utama dan menentukan keberhasilan pembangunan. Hal ini menunjukkan partisipasi masyarakat dan pembangunan berencana merupakan dua terminologi yang tidak dapat dipisahkan. Pendapat atau teori tersebut secara rasional dapat diterima, karena secara ideal tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, oleh karena itu sangatlah pantas masyarakat terlibat di dalamnya.
Korten dalam Supriatna (2000 : 65) mengatakan bahwa pembangunan yang berorientasi pada pembangunan manusia, dalam pelaksanaannya sangat mensyaratkan keterlibatan langsung pada masyarakat penerima program pembangunan (partisipasi pembangunan). Karena hanya dengan partisipasi masyarakat penerima program, maka hasil pembangunan ini akan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Dengan adanya kesesuaian ini maka hasil pembangunan akan memberikan manfaat yang optimal bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah adanya partisipasi masyarakat penerima program. Begitu juga Menurut Conyers (1991 : 154), yang mengatakan terdapat tiga alasan utama mengapa partisipasi masyarakat menjadi sangat penting dalam pembangunan, yaitu: Pertama, partisipasi merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal.
Alasan kedua, yaitu bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut. Ketiga, adanya anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat sendiri.
Gagasan tentang pelibatan peran warga dalam kajian masalah pembangunan, terutama melalui model pemberdayaan masyarakat guna peningkatan partisipasi sesungguhnya bukanlah topik yang baru. Semenjak timbulnya kesadaran bahwa perspektif pertumbuhan ekonomi (Economic Growth) meninggalkan permasalahan kesenjangan ketidakadilan dan ketidakmerataan dalam pembagian manfaat pembangunan, maka berkembanglah berbagai pandangan yang ingin memberikan alternatif kepada pandangan yang hanya mengandalkan pertumbuhan, diantaranya teori-teori Redistribution With Growth yang dikembangkan oleh Chenery (1974), Human Development oleh Justin Pikunas (1976), dan People centre Development oleh David C. Korten (1986).
Perbedaan pandangan tentang pendekatan pembangunan tersebut berlangsung cukup lama, yang mana tujuannya adalah mengakhiri era Delivered Development dimana pembangunan direncanakan sepenuhnya dari atas dan menempatkan warga sebagai obyek pembangunan dan kemudian ingin diganti denga era Partisipatory Development dimana pembangunan direncanakan dari bawah dengan melibatkan warga, dan menempatkan mereka sebagai subyek dalam proses pembangunan.(Ponna Wignaraja dalam David C Korten, 1986 : 60).
Namun tidak dapat juga di sangkal bahwa perencanaan dengan melibatkan masyarakat diangap tidak efektif dan cenderung menghambat pencapaian tujuan pembangunan. Ada beberapa pertimbangan untuk kemudian tidak melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan yaitu waktu yang lebih lama, serta kemungkinan besar akan banyak sekali pihak-pihak yang menentang pembangunan itu. Menurut Soetrisno (1995 : 48) hambatan-hambatan yang dihadapi dalam melaksanakan proses pembangunan yang partisipatif adalah belum dipahaminya makna sebenarnya dari konsep partisipasi oleh pihak perencana dan pelaksanaan pembangunan. Defenisi partisipasi yang berlaku di kalangan lingkungan aparat perencanaan dan pelaksanaan pembangunan adalah kemauan rakyat untuk mendukung secara mutlak program-program pemerintah yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah.
Para perencana dan pelaksana menggunakan suatu konsep hirarkis dalam menyeleksi pembangunan pedesaan pada prakteknya. Di dalam proses pembangunan itu terlihat ada satu hal yang terjadi dalam interaksi antara para pelaksana pembangunan dan rakyat, yaitu tentang bagaimana para aparat pembangunan melihat usulan-usulan pembangunan. Dalam pikiran para aparat pelaksana terdapat “hierarki proyek pembangunan” tersebut, dimana proyek yang datang dari pemerintahan dan proyek yang direncakanan pemerintahan adalah benar-benar proyek yang mencerminkan “kebutuhan rakyat”, dan karena merupakan kebutuhan maka proyek pemerintah itu harus dilaksanakan. Sedangkan apa yang diusulkan oleh rakyat hanya merupakan “keinginan”, bukan mencerminkan hal yang benar-benar harus ada. Karena merupakan keinginan, maka pada umumnya proyek-proyek yang diusulkan oleh rakyat selalu akan diganti dengan usulan-usulan proyek yang digolongkan sebagai proyek “kebutuhan” dan memperoleh prioritas rendah. Kemudian menurut Soetrisno (1995: 55) yang menjadi permasalahan dari segi sosial politik dalam pelaksanaan pembangunannya pada negara sedang berkembang termasuk Indonesia, adalah munculnya suatu gejala dimana pemerintah menempatkan pembangunan bukan lagi sebagai pekerjaan rutin suatu pemerintah, melainkan telah diangkat kedudukannya sebagai suatu ideologi baru dalam negara. Perubahan ini mempunyai segi positif dan negatif. Aspek positifnya adalah dengan dijadikannya pembangunan sebagai suatu ideologi dalam suatu negara, maka pembangunan akan menjadi sesuatu yang harus dilakukan oleh pemerintahan dan pelestariannya harus dijaga oleh semua warga negara. Dengan kata lain, pembangunan harus dihayati oleh semua warga negara, seperti kita menghayati ideologi negara. Akan tetapi karena pembangunan telah menjadi sebuah ideologi, maka pembangunan itu telah menjadi sesuatu yang suci sehingga tidak bebas untuk dikritik, lebih-lebih untuk dikaji ulang guna mencari alternatifnya.
Di Indonesia pendekatan pembangunan dengan mengikutsertakan warga mulai tumbuh pada awal pelita VI yang ditandai dengan munculnya program-program penanggulangan kemiskinan yang menggunakan pola atau skema tindakan serangan langsung yang lebih subtansial terhadap permasalahan. (Vidhyandika Moeljarto, 1994 : 8). Contoh skema tindakan yang dimaksud antara lain kegiatan–kegiatan seperti pemetaan kantong kemiskinan dan penerapan Inpres Desa Tertinggal. Ada beberapa tujuan dari keikutsertaan warga secara langsung dalam tindakan program yaitu, Pertama, agar bantuan efektif karena sungguh-sungguh sesuai dengan kehendak, kemampuan dan kebutuhan sendiri. Kedua, meningkatkan keberdayaan mereka dengan pengalaman dalam melakukan perencanaan, melaksanakan, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya. (Kartasasmita, 1996 : 54).
Begitu juga setelah desentralisasi menjadi sebuah keputusan pemerintah, yang artinya peluang potensi daerah membuat semakin besarnya kesempatan masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan. Otonomi daerah harus dipandang sebagai peluang untuk keberdayaan masyarakat. Pemerintah daerah sebaiknya menjadikan momentum ini sebagai peluang untuk dapat memperkuat jaringan dan dapat mengintegrasikan seluruh jaringan dan kelompok sosial yang ada dalam masyarakat ke dalam sebuah wujud kerjasama yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme).
Sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, daerah mempunyai wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana menurut pasal 14 UU No. 32 Tahun 2004 Kabupaten/Kota pada disebutkan bahwa lingkup kewenangan Pemerintah Daeraeh terdiri atas:
a. Perencanaan dan Pengendalian Pemerintahan dan Pembangunan
b. Penyelenggaraan Ketertiban Umum
c. Penanggulangan Masalah Sosial
d. Pelayanan Bidang Ketenagakerjaan
e. Pengembangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
f. Pengendalian Lingkungan Hidup
g. Pelayanan Lingkungan dan Tata Ruang
h. Pelayanan Pertahanan dan Catatan Sipil
i. Pelayanan Dalam Penanaman Modal
j. Penyelenggaraan Pelayanan Dasar Lainnya
k. Pengembangan dan Pelestarian Budaya
l. Hubungan Harmonis Antara Pemerintah : Induk, Tetangga, Propinsi dan Pusat
Kecenderungan untuk menerapkan prinsip desentralisasi membuat daerah-daerah lebih memperhatikan aspirasi masyarakat lokal dalam pembangunan daerah. Fokus perhatian pemerintah (eksekutif) pun mulai memberikan peluang yang sangat besar untuk munculnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Secara eksplisit ditegaskan bahwa penerapan otonomi daerah secara mendasar adalah mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas serta meningkatkan peran masyarakat. Dalam kajian mengenai partisipasi masyarakat dalam otonomi daerah mengungkapkan bahwa partisipasi masyarakat merupakan hal yang krusial dan penting dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Sejalan dengan hal tersebut, dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Bab II pasal 2 ayat 4 disebutkan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan untuk :
1. Mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan.
2. Menjamin tercipatanya integrasi, sinkroniasasi, dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antar pusat dan daerah.
3. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan
4. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat
5. Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan.
Undang-undang tersebut secara jelas menyatakan bahwa salah satu tujuan dari sistem perencanaan pembangunan nasional adalah dapat mengoptimalkan partisipasi masyarakat dan menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan. Artinya adalah bahwa sistem perencanaan pembangunan menekankan pendekatan partisipatif masyarakat atau yang biasa disebut perencanaan partisipatif.
Dalam UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, bagi daerah terdapat 5 ruang lingkup perencanaan daerah, yaitu : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah, Rencana Kerja Pemerintah Daerah dan Rencana Kerja Satuan Perangkat Daerah, yang mana dari masing-masing rencana mensinergikan proses top down-bottom up guna terjadinya sinkronisasi antara masing-masing proses perencanaan.
Sesuai dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, bahwa pemerintah daerah yang sudah menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara langsung harus memiliki dokumen rencana pembangunan mulai dari pembangunan jangka panjang hingga rencana pembangunan tahunan. Namun prioritas utama adalah menyiapkan dokumen pembangunan jangka menengah yang mengadopsi visi, misi kepala daerah terpilih melalui serangkaian proses, sebagai panduan dalam menyelenggarkan pembangunan selama 5 tahun masa periode kepala daerah terpilih.
Pemerintah Kota X, telah membuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. Adapun mekanisme pembuatan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah ini diatur melalui SE Mendagri 050/2020/Sj tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan RPJP daerah dan RPJM daerah. Dalam peraturan tersebut, sebagaimana juga yang diatur oleh UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, bahwa dalam penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah tersebut haruslah melibatkan partisipasi masyarakat. Mengacu pada masalah tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian secara mendalam dengan mengajukan judul tesis sebagai berikut: “PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF” (Studi Tentang Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota X)”

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada latar belakang diatas, maka perlu kiranya untuk mencari tahu bagaimana partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan di Kota X, khususnya partisipasi masyarakat dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota X.
Sehingga yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana partisipasi masyarakat dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota X ”.

1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk mendeskripsikan bagaimana mekanisme penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota X .
2. Untuk mengetahui bagaimana partisipasi masyarakat dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota X .

1.4. Manfaat Penelitian
1. Bagi penulis, penelitian ini merupakan usaha untuk meningkatkan kemampuan berfikir melalui penulisan karya ilmiah dan untuk menerapkan teori-teori yang penulis peroleh selama perkuliahan di Magister Studi Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana Universitas X.
2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Kota X, sebagai masukan dalam penyusunan perencanaan pembangunan di daerah demi meningkatkan peran serta masyarakat sebagi objek dan subjek pembangunan guna peningkatan kesejahteraan rakyat.
3. Bagi Program Studi Magister Studi Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana Universitas X, akan melengkapi ragam penelitian yang telah dibuat oleh para mahasiswa dan dapat menambah bahan bacaan dan referensi bahan bacaan dan referensi dari satu karya ilmiah.

Postingan terkait: