SKRIPSI GAMBARAN EPIDEMIOLOGI DEMAM BERDARAH DENGUE DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANGKA INSIDENNYA

(KODE KES-MASY-0025) : SKRIPSI GAMBARAN EPIDEMIOLOGI DEMAM BERDARAH DENGUE DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANGKA INSIDENNYA




BAB 1
PENDAHULUAN


I. Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue atau yang lebih dikenal dengan singkatan DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan merupakan vector borne disease atau ditularkan melalui vektor, yaitu nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama karena dapat menyerang semua gologngan umur dan menyebabkan kematian khususnya pada anak dan kejadian luar biasa (wabah). Namun dalam dekade terakhir terlihat adanya kecenderungan kenaikan proporsi penderita DBD pada orang dewasa. Gejalanya antara lain demam/panas tinggi mendadak disertai dengan pendarahan, kebocoran plasma dan berisiko menimbulkan syok.
WHO memperkirakan tiap tahunnya sebanyak 500.000 pasien DBD membutuhkan perawatan di rumah sakit dimana sebagian besar pasiennya adalah anak-anak. Sekitar 2,5% diantara pasien anak tersebut diperkirakan meninggal dunia. Tanpa perawatan yang tepat, case fatality rate (CFR) DBD dapat saja melampaui angka 20%. Adanya akses yang lebih baik untuk mencapai tempat pelayanan kesehatan dan penanganan yang tepat baik sejak gejala awal maupun perawatan lanjutan serta peningkatan pengetahuan tentang DBD dapat menurunkan tingkat kematiannya hingga di bawah 1% (WHO, 2009).
Beberapa dekade terakhir ini, insiden demam dengue menunjukkan peningkatan yang sangat pesat di seluruh penjuru dunia. Sebanyak dua setengah milyar atau dua perlima penduduk dunia berisiko terserang demam dengue. Sebanyak 1,6 milyar (52%) dari penduduk yang berisiko tersebut hidup di wilayah Asia Tenggara. WHO memperkirakan sekitar 50 juta kasus infeksi dengue tiap tahunnya. Pada tahun 2007 di Amerika terdapat lebih dari 890.000 kasus dengue yang dilaporkan dimana 26.000 kasus diantaranya tergolong dalam demam berdarah dengue (DBD).
Di Indonesia kasus demam berdarah dilaporkan pertama kali di Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968 dengan jumlah kasus sebanyak 58 orang (IR = 0,05 per 100.000) dan 24 orang diantaranya meninggal (CFR = 41,3%). Tahun demi tahun daerah penyebarannya bertambah luas dan angka kasus yang dilaporkan terus meningkat walaupun Case Fatality Rate cenderung menurun. Seluruh wilayah Indonesia memiliki risiko untuk terjangkit penyakit DBD, karena virus penyebab dan vektor penularnya tersebar luas baik di rumah maupun di tempat-tempat umum, kecuali daerah yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut (Ditjen P2PL Depkes RI, 1999).
Selama tahun 2003-2007, angka kasus DBD menunjukan kenaikan yang cukup signifikan. Selama tahun 2003 tercatat 51.516 kasus (IR= 23,87; CFR= 1,5); tahun 2004 tercatat 79.462 kasus (IR= 37,11; CFR= 1,2); tahun 2005 tercatat 95.279 kasus (IR= 43,42; CFR= 1,36); tahun 2006 tercatat 114.656 kasus (IR= 52,48; CFR= 1,04); dan tahun 2007 tercatat 158.115 kasus (IR= 71,78; CFR= 1,01) (sumber: Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2007).
Namun begitu, tingkat kermatian atau CFR yang ditimbulkan oleh DBD cenderung menurun dari tahun ke tahun. Pada awal mula munculnya penyakit ini di Indonesia tahun 1968, CFR mencapai angka 41,3 namun selang waktu berganti CFR mengalami penurunan yang signifikan. Pada tahun 2005, 2006, dan 2007 masing-masing bernilai 1,36; 1,04; dan 1,01. Angka ini menunjukkan bahwa CFR semakin mendekati CFR nasional, yakni < 1 (sumber: Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2007).
Pada tahun 2008, angka kasus DBD di Indonesia tercatat sebanyak 135.871 kasus. Di propinsi Jawa Barat sendiri tercatat sebanyak 23.248 kasus selama tahun 2008. Angka tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2007 dimana angka kasus berjumlah sebesar 31. 836 (sumber: Kompas, 2 Maret 2009). Kota X adalah bagian dari propinsi Jawa Barat, mengalami peningkatan jumlah kasus dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001, angka insiden DBD adalah sebesar 61,44 (per 100.000 penduduk). Lalu menurun tajam pada tahun 2002 menjadi 37,44. Tetapi kemudian meningkat kembali pada tahun 2003 dan 2004 sebesar 73,14 dan 78,18 secara berturut-turut. Jumlah kematian yang ditimbulkan juga cukup menyita perhatian, walau tidak sebesar case fatality rate (CFR) di DKI Jakarta. Dalam kurun waktu empat tahun (2001-2004), penyakit DBD di Kota X telah merenggut sebanyak 42 korban jiwa, dengan rata-rata CFR sebesar 1,44% (Agustiena, 2004).
Salah satu kecamatan yang terdapat di wilayah Kota X, yakni kecamatan X dimana memiliki jumlah penduduk sebesar 326.305 jiwa dengan tingkat kepadatan 6.451 jiwa/km2. Dari tahun 2001 sampai tahun 2004, angka insiden di kecamatan tersebut cukup melonjak dengan tajam. Pada tahun 2001 angka insiden sebesar 24,27 (per 100.000 penduduk) lalu merangkak naik ke angka 28,16; 159,34; dan 240,22 pada tiga tahun selanjutnya (Agustiena, 2004).
Tingginya angka kasus maupun kematian yang disebabkan oleh penyakit ini menurut WHO merupakan petunjuk bahwa masalah kesehatan masyarakat masih merupakan beban. Dalam teori Bloom disebutkan bahwa hal tersebut disebabkan karena pengaruh kualitas lingkungan yang merupakan determinan dari status kesehatan. Faktor lainnya yang turut mempengaruhi status kesehatan manusia ialah pelayanan kesehatan, hereditas, dan perilaku manusia itu sendiri.
Determinan penyakit DBD juga mengikuti konsep Bloom di atas. Faktor lingkungan yang berpengaruh tidak hanya lingkungan fisik saja, tetapi juga meliputi lingkungan sosial ekonomi budaya dimana pendidikan, pekerjaan, pemilikan barang, mobilitas, nilai penyakit dan konsep penyakit termasuk di dalamnya. Faktor perilaku masyarakat meliputi pengetahuan dan kebiasaan serta peran dalam PSN dan fogging. Faktor pelayanan kesehatan meliputi upaya penyuluhan dan upaya pencegahan. Sedangkan faktor keturunan adalah kepekaan masyarakat sebagai host dan nyamuk sebagai perantara vektor dari virus dengue (Majalah Kesehatan Masyarakat, 2002).
Upaya pemberantasan penyakit DBD terus dilakukan hingga kini antara lain adalah usaha untuk memutuskan mata rantai penularan dengan memberantas vektor penularnya, yaitu nyamuk Aedes aegypti dengan cara kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Kemudian untuk mendukung kegiatan pemberantasan vektor tersebut dilakukan kegiatan pemeriksaan jentik berkala di rumah-rumah penduduk serta tempat-tempat umum untuk mengetahui angka bebas jentik (ABJ) di wilayah tersebut. Selain gerakan PSN yang digalakan oleh pemerintah, upaya pencegahan dan pemberantasan lainnya yang telah dilakukan antara lain porgram penyelidikan epidemiologi, abatisasi selektif, fogging focus, dan penyuluhan kesehatan masyarakat (Ditjen P2PL DepKes RI, 1992).
Selain faktor pelayanan kesehatan yang telah diuraikan di atas, faktor lingkungan juga berperan penting dalam penyebaran penyakit DBD. Sebuah penelitian di Thailand menyebutkan bahwa suhu dan kelembaban udara serta curah hujan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap angka insiden DBD (Prompou dan Jaroensutasinee, 2005). Dalam sebuah penelitian di Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara jumlah hari hujan, suhu dan kelembaban udara berhubungan secara bermakna dengan angka insiden DBD. Sedangkan di Kecamatan Penjaringan, ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara kecepatan angin dengan angka insiden DBD (Sungono, 2004).
Tidak hanya faktor lingkungan alamiah seperti yang disebutkan, namun faktor lainnya yang termasuk dalam lingkungan adalah angka bebas jentik (ABJ) dan kepadatan penduduk. ABJ tersebut merupakan salah satu indikator keberhasilan program pemberantasan vektor penular DBD. Angka bebas jentik (ABJ) sebagai tolak ukur upaya pemberantasan vektor melalui gerakan PSN-3M menunjukan tingkat partisipasi masyarakat dalam mencegah DBD. Rata-rata ABJ yang masih di bawah 95% menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat untuk mencegah penyakit DBD dengan cara 3M di lingkungannya masing-masing belum optimal, sehingga kasus DBD masih sering terjadi (Ditjen P2PL DepkesRI, 2007). Penelitian di Kecamatan Koja dan Cilincing, menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara ABJ dengan insiden DBD (Sungono, 2004). Penelitian lain di Jakarta Timur menyebutkan juga terdapat hubungan yang bermakna antara ABJ dengan angka insiden DBD (Asmara, 2008).
Haryadi (2007) menyebutkan bahwa faktor paling dominan mempengaruhi tingginya kejadian DBD adalah kepadatan penduduk dan angka bebas jentik (ABJ) yang rendah. Kepadatan penduduk dapat meningkatkan penularan kasus DBD dimana dengan semakin banyak manusia maka akan semakin besar peluang nyamuk Aedes aegypti menggigit, sehingga penyebaran kasus DBD dapat menyebar dengan cepat dalam suatu wilayah (Yusmariami, 2004).

II. Rumusan Masalah
Dalam beberapa tahun terakhir ini, angka insiden DBD di Kecamatan X dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2001 angka insiden sebesar 24,27 (per 100.000 penduduk) lalu merangkak naik ke angka 28,16; 159,34; dan 240,22 pada tiga tahun selanjutnya. Angka insiden pada tahun 2004 merupakan yang tertinggi jika dibandingkan beberapa kecamatan lain di Kota X. Masih tingginya angka insiden dicurigai dipengaruhi oleh beberapa faktor. Antara lain faktor pelayanan kesehatan dimana di dalamnya termasuk program pengendalian dan pemberantasan penyakit DBD. Faktor lainnya yang dilansir berpengaruh bagi peningkatan insiden adalah faktor lingkungan. Beberapa penelitian sebelumnya di daerah yang berbeda, menyebutkan adanya hubungan yang bermakna antara angka insiden DBD dengan beberapa faktor lingkungan seperti suhu udara, kelembaban, curah hujan, angka bebas jentik (ABJ), serta kepadatan penduduk. Di wilayah Kecamatan X sendiri dalam beberapa tahun ini belum pernah diadakan penelitan serupa. Berdasarkan masalah tersebut, belum diketahui bagaimana gambaran epidemiologi kasus DBD berdasarkan orang, tempat, waktu serta faktor-faktor yang berpengaruh pada angka insiden DBD di Kecamatan X tahun XXXX-XXXX.

III. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana gambaran epidemiologi kasus dan faktor-faktor yang mempengaruhi angka insiden DBD di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX?

IV. Tujuan Penelitian
A. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran epidemiologi kasus dan faktor-faktor yang mempengaruhi angka insiden DBD di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX.
B. Tujuan Khusus
1. Mengetahui distribusi frekuensi kasus DBD berdasarkan karakteristik umur penderita di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
2. Mengetahui distribusi frekuensi kasus DBD berdasarkan karakteristik jenis kelamin penderita di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
3. Mengetahui distribusi frekuensi kasus DBD berdasarkan tempat (kelurahan) di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
4. Mengetahui distribusi frekuensi kasus DBD berdasarkan waktu (bulan) di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
5. Mengetahui frekuensi angka insiden DBD berdasarkan tempat (kelurahan) di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
6. Mengetahui frekuensi angka insiden DBD berdasarkan waktu (tahun) di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
7. Mengetahui distribusi kepadatan penduduk di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
8. Mengetahui frekuensi pelakasanaan program penyelidikan epidemiologi DBD wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
9. Mengetahui distribusi pelakasanaan program pemantauan jentik berkala (PJB) DBD wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
10. Mengetahui distribusi pelakasanaan program fogging fokus DBD wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
11. Mengetahui frekuensi Angka Bebas Jentik (ABJ) berdasarkan tempat (kelurahan) di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
12. Mengetahui frekuensi curah hujan di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
13. Mengetahui frekuensi suhu udara di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
14. Mengetahui frekuensi kelembaban udara di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
15. Mengetahui hubungan kepadatan penduduk dengan angka insiden DBD di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
16. Mengetahui hubungan pelakasanaan program penyelidikan epidemiologi DBD dengan angka insiden DBD di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
17. Mengetahui hubungan pelakasanaan program pemantauan jentik berkala (PJB) DBD dengan angka insiden DBD di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
18. Mengetahui hubungan pelakasanaan program fogging fokus DBD dengan angka insiden DBD di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
19. Mengetahui hubungan Angka Bebas Jentik (ABJ) dengan angka insiden DBD di di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
20. Mengetahui hubungan curah hujan dengan angka insiden DBD di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
21. Mengetahui hubungan suhu udara dengan angka insiden DBD di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
22. Mengetahui hubungan kelembaban udara dengan angka insiden DBD di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX

V. Manfaat Penelitian
A. Bagi Instansi Pemerintah
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan informasi untuk mengevaluasi dan meningkatkan peningkatan pelayanan kesehatan khususnya bagi program pengendalian dan pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah Kecamatan X, Kota X.
B. Bagi Akademisi
Penelitian ini sebagai pengalaman dalam praktek belajar lapangan untuk mengaplikasikan ilmu kesehatan masyarakat.

VI. Ruang Lingkup
Pada beberapa tahun terakhir ini, angka insiden DBD di Kecamatan X, Kota X mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Angka insiden pada tahun 2004 mencapai 240,22. Angka tersebut adalah yang tertinggi jika dibandingkan beberapa kecamatan lain di Kota X. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran epidemiologi demam berdarah dengue (DBD) dan faktor-faktor yang mempengaruhi angka insidennya di Kecamatan X tahun XXXX-XXXX. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juni 2009. Jenis penelitian yang digunakan adalah desain observasional dan studi deskriptif korelasi/ekologi untuk mengetahui kekuatan dan pola hubungan antara variabel indpenden dengan dependen. Selain itu, dilakukan pula analisis serial kasus untuk mengetahui perkembangan kasus dan insiden DBD, pelaksanaan program pengendaliaan dan pemberantasan penyakit tersebut, serta variabilitas iklim dari tahun ke tahun. Variabel independen yang diukur adalah faktor demografi (kepadatan penduduk), pelayanan kesehatan (pelaksanaan program pemberantasan DBD) serta faktor lingkungan (ABJ, temperatur, curah hujan dan kelembaban udara). Sedangkan variabel dependen adalah angka insiden DBD di tingkat kelurahan wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX.

Postingan terkait: