Gagal, Upaya Jepang Jinakkan Reaktor Nuklir
Drama penyelamatan umat manusia dari bahaya radiasi nuklir di prefektur Fukushima, Jepang, sepertinya akan berakhir seiring rencana perusahaan dan pemerintah menonaktifkan reaktor di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi.Dilansir dari laman The Guardian, Kamis, 31 Maret 2011, perusahaan operator PLTN, Tokyo Electric Power Co. (Tepco) dan pemerintah Jepang sepertinya kewalahan menangani kerusakan di empat reaktor nuklir di PLTN tersebut. Upaya pendinginan oleh para "Samurai Nuklir" tak begitu berhasil, malah justru situasi semakin parah. Hal ini membuat Perdana Menteri Jepang, Naoto Kan, pada Selasa, 29 Maret 2011, menyatakan negaranya dalam keadaan "siaga maksimum".
Petugas di lapangan kini mendeteksi adanya bocoran plutonium terkandung pada tanah. Bocoran diduga berasal dari salah satu reaktor yang mengalami kerusakan terparah, yaitu reaktor unit dua.
Kandungan plutonium tingkat tinggi juga terdeteksi pada genangan air di instalasi tersebut. Dilaporkan, dua orang pekerja dilarikan ke rumah sakit pekan lalu, setelah kakinya terbakar akibat terendam di genangan air plutonium.
Kebocoran ini juga membuat situasi di PLTN Fukushima semakin memburuk. Fluktuasi kadar radiasi di udara kini semakin sering terjadi, dengan kemungkinan terbanyak kadar menembus batas normal.
Zat radioaktif bahkan merambat sampai ke jarak yang jauh dari PLTN. Dilansir dari CNN, Rabu, 30 Maret 2011, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menemukan radiasi tingkat tinggi di kota Iitate, yang berjarak 40 km dari PLTN.
Organisasi Green Peace pada hari Minggu lalu mengatakan radiasi di kota ini 50 kali di atas batas normal. Walaupun masih di bawah tingkat yang dapat menyebabkan sakit akibat radiasi, paparan itu dapat memberikan dampak jangka panjang bagi warga, di antaranya adalah penyakit kanker.
Kedua organisasi ini menyarankan pemerintah memperluas cakupan evakuasi untuk mencegah 7000 warga kota ini terpapar. Sebelumnya, pemerintah hanya mengevakuasi 170.000 warga di wilayah radius 20 km dari PLTN, lebih dari itu dihimbau untuk tetap di dalam rumah. Menanggapi usulan ini, pemerintah Jepang bergeming. Mereka merasa tingkat radiasi pada tingkat itu belum perlu memicu gelombang evakuasi lagi. Dinonaktifkan
Akhirnya, Tepco dan pemerintah Jepang menggulirkan rencana penonaktifan reaktor nuklir di PLTN tersebut. Penonaktifan berarti tak akan digunakannya lagi PLTN tersebut untuk pemenuhan kebutuhan listrik, pun tak akan diperbaiki lagi reaktornya.
Direktur Tepco, Tsunehira Katsumata, mengatakan empat reaktor nuklir yang bermasalah di PLTN tersebut akan dinonaktifkan karena usaha mereka tak juga membuahkan hasil.
Katsumata mengatakan tak ada pilihan lain selain mematikan reaktor unit satu sampai empat di PLTN tersebut. Penonaktifan akan dilakukan pada empat unit reaktor, namun reaktor unit lima dan enam tetap akan beroperasi. Kedua reaktor terletak terpisah dari empat unit reaktor lainnya tersebut dilaporkan tak mengalami kerusakan, karena tidak beroperasi saat gempa bumi dan tsunami terjadi 11 Maret lalu.
Namun, niatan mempertahankan dua reaktor ini ditentang oleh pemerintah. Juru bicara pemerintah Yukio Edano, mengatakan semua reaktor di PLTN yang telah berusia 40 tahun itu akan dinonaktifkan. "Keputusan ini sangat jelas, melihat situasi berkembang saat ini," ujar Edano.
Belum dipastikan kapan penonaktifan ini akan dilakukan oleh pemerintah maupun oleh Tepco.
Butuh 30 tahun, triliunan Yen
Ternyata rencana menonaktifkan reaktor tak semudah membalik telapak tangan. Menurut laman IEEE Spectrum, diperlukan lebih dari 30 tahun dan memakan biaya hingga triliunan yen, sampai reaktor dapat dinonaktifkan sepenuhnya, dan situasi kembali normal.
Sebelum dinonaktifkan, wakil direktur jenderal Badan Keamanan Nuklir dan Industri Jepang (NISA), Hidehiko Nishiyama, mengatakan, terlebih dahulu reaktor harus didinginkan, dan berada dalam temperatur normal. Berbagai cara dilakukan oleh para "Samurai Nuklir" untuk mendinginkan reaktor sejak pendingin dan generator listrik rusak akibat guncangan gempa dan terjangan tsunami 11 Maret lalu.
Diantaranya adalah menyuntikkan air laut dan asam boraks ke dalam selubung reaktor, menyiramkan air laut ke atas reaktor menggunakan helikopter militer dan menyemprotkannya dengan meriam air. Ketika air laut dirasa malah menimbulkan endapan garam, jutaan liter air tawar dikirimkan pemerintah Amerika Serikat ke PLTN. Usaha ini dirasa cukup efektif, namun hanya membantu mendinginkan sedikit saja.
Saat ini yang diperlukan adalah mengalirnya kembali arus listrik di generator untuk pendinginan otomatis reaktor. Itu pun bukan perkara mudah. Untuk mendinginkan reaktor diperkirakan akan memakan waktu hingga berbulan-bulan.
"Pemerintah Jepang saat ini tengah mencari beberapa cara mendinginkan reaktor. Hal ini akan memakan sedikit waktu sampai temperatur turun dan stabil," ujar juru bicara pemerintah Jepang, Yukio Edano.
Ahli nuklir dari Institut Ekonomi Energi Jepang, Tomoko Murakami, mengatakan bahwa setelah dingin, maka reaktor rusak baru bisa dihancurkan. Namun, sebelum itu, semua partikel dan materi radioaktif harus terlebih dulu dibersihkan dan dipindahkan dari lokasi. Murakami mengatakan proses pendinginan dan penonaktifan total pada reaktor tipe air panas seperti di Fukushima akan memakan waktu lebih dari 30 tahun.
Itu berdasar pengalaman serupa di Jepang saat mematikan reaktor pada PLTN di kota Tokai, prefektur Ibaraki, milik Japan Atomic Power Co. (Japco). Perusahaan itu pada 1998 memulai upaya penonaktifan setelah reaktor berfungsi selama 32 tahun.
Dilaporkan, proyek penonaktifan masih terus berlangsung hingga hari ini. Diperkirakan penonaktifan reaktor Tokai baru akan selesai pada Maret 2021, atau setelah 23 tahun pengerjaan. Untuk menstabilkan dan memindahkan bahan bakar nuklir dari inti reaktor saja memakan waktu hingga tiga tahun.
Kocek yang dikeluarkan oleh Japco juga tidak sedikit, diperlukan 88,5 miliar yen atau sekitar Rp9,2 triliun untuk merampungkan misi penonaktifan reaktor Tokai.
Untuk empat reaktor di Fukushima, biaya dan waktunya diperkirakan akan jauh lebih banyak lagi.
Murakami mengatakan upaya penonaktifan PLTN Fukushima akan memakan waktu sekitar 30 tahun dan memakan biaya hinga 1 triliun yen, atau sekitar Rp1000 triliun. Jumlah luar biasa besar, bahkan untuk negara semaju Jepang.
"Memindahkan bahan bakar yang rusak dari reaktor membutuhkan waktu lebih dari dua tahun, penundaan hanya akan membuat biaya semakin membengkak," ujar Murakami, yang juga merupakan ahli yang bekerja dalam upaya penonaktifan reaktor Tokai.
Pembersihan dan penonaktifan Fukushima dinilai paling mahal diantara upaya serupa pada krisis nuklir yang terjadi di Three Mile, Amerika Serikat dan di Chernobyl, Ukraina.
Sebagai perbandingan, di pulau Three Mile, upaya penonaktifan dimulai pada 1979 memakan waktu hingga 12 tahun, dengan biaya US$973 juta (Rp8,4 triliun). Upaya penonaktifan di pulau ini mengerahkan hingga 1.000 orang.
Sementara itu usaha pembersihan radiasi pada krisis nuklir terparah dalam sejarah manusia di Chernobyl, Ukraina, pada 1986 masih terus berlangsung hingga sekarang. Pemerintah Ukraina dilaporkan tak sanggup lagi membiayai upaya tersebut. Upaya terbaru adalah pemasangan sarkofagus untuk menutupi reaktor Chernobyl, yang rencananya akan dilakukan pada 2014. Biaya pemasangan sarkofagus ini adalah sebesar US$2,2 miliar (Rp19 triliun). Untungnya, Bank Eropa di London menanggung 65 persen dari biaya tersebut.
Nuklir penting bagi Jepang
Walaupun menimbulkan bencana besar, pemerintah dan rakyat Jepang memerlukan nuklir untuk memenuhi kebutuhan listrik mereka. Energi nuklir telah menjadi prioritas strategis sejak 1973. Bagi mereka, nuklir merupakan pilihan bijak, sebab negeri sakura ini tak punya banyak sumber minyak dan gas. Krisis kali ini adalah harga yang harus dibayar untuk memenuhi kebutuhan listrik rakyat Jepang.
Data dari Federasi Perusahaan Pembangkit Listrik (FEPC) Jepang, negeri itu mengoperasikan 55 reaktor nuklir dengan listrik yang dihasilkan 49.467 megawatt atau hampir 50 gigawatt. Energi ini menyumbang 34,5 persen kebutuhan listrik di Jepang.
Untuk melayani kebutuhan, Jepang membagi beberapa titik distribusi listrik. Masing-masing daerah dipegang operator berjumlah 10 perusahaan, yaitu Tokyo Electric Power Company, Okinawa Electric Power Company, Kyushu Electric Power Company, Chubu Electric Power Company, Tohoku Electric Power Company, Shikoku Electric Power Company, Kansai Electric Power Company, Hokuriku Electric Power Company, Hokkaido Electric Power Company, dan Chugoku Electric Power Company.
Reaktor PLTN Fukushima adalah salah satu PLTN terbesar di dunia. Reaktor ini menyumbang 4,7 gigawatt bagi pemenuhan kebutuhan listrik Jepang.
Sumber : http://www.vivanews.com/