BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka daerah diberi keleluasaan untuk menekankan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan serta dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. UU ini sebagai landasan hukum bagi tiap daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Masyarakat diberi peran yang lebih besar dalam pembangunan daerah. Selain itu masyarakat dituntut berkreativitas dan berinovasi dalam mengelola potensi daerah serta memprakarsai pembangunan daerah.
Sejalan dengan perkembangan kemampuan rakyat dalam pembangunan dan berkurangnya campur tangan pemerintah pusat terhadap daerah, maka pembangunan seharusnya diarahkan untuk merubah kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Perencanaan dan implementasi pembangunan seharusnya merupakan usaha untuk memberdayakan rakyat sehingga mereka mempunyai akses terhadap sumber-sumber ekonomi.
Model pembangunan yang melibatkan masyarakat dapat juga disebut dengan model pembangunan partisipatif. Pelaksanaan pembangunan partisipatif merupakan konsekuensi logis dari tuntutan reformasi dan keterbukaan yang diinginkan oleh masyarakat sejak tumbangnya rejim orde baru, yang juga didukung oleh prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengamanatkan pentingnya dilaksanakan otonomi daerah, demokratisasi, partisipasi masyarakat serta desentralisasi kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan di tingkat daerah.
Berdasarkan Pedoman Umum Proyek Pemberdayaan Masyarakat untuk Pembangunan Desa (PMPD) Tahun 2004, dari berbagai kebijakan dan program pembangunan yang telah dilaksanakan pemerintah, upaya penanggulangan kemiskinan menunjukkan hasil yang cukup menarik, yaitu berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin dari 68% pada tahun 1970 menjadi hanya 11% pada tahun 1996. Namun demikian, sebagai akibat adanya krisis moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 dan berkembang menjadi krisis multi dimensi, jumlah penduduk miskin pada tahun 1999 kembali meningkat menjadi 23,4% atau sejumlah 47,97 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 15,6 juta jiwa berada di perkotaan dan 32,33 juta jiwa di perdesaan. Di samping itu, masih ada sekitar 25% penduduk yang diperkirakan rentan terhadap kemiskinan. Hal ini berarti hampir separuh penduduk Indonesia dapat dikategorikan miskin atau rentan terhadap kemiskinan.
Kondisi tersebut digambarkan melalui komposisi dan jumlah penduduk miskin desa-kota yang sangat besar. Selain itu, berdasarkan tabel di atas juga dapat dijelaskan bahwa jumlah penduduk miskin di pedesaan cenderung lebih besar apabila dibandingkan dengan daerah perkotaan.
Salah satu akar permasalahan kemiskinan di kawasan perdesaan adalah terdapatnya ketidakseimbangan hubungan dengan kawasan perkotaan yang cenderung merugikan perdesaan. Oleh karena itu diperlukan upaya penguatan perdesaan yang menempatkan desa sebagai basis desentralisasi. Hal ini penting karena tiga alasan, yaitu :
1. Sebagian besar masyarakat Indonesia hidup di dalam komunitas pedesaan.
2. Komunitas pedesaan itu terkelompok ke dalam satuan masyarakat hukum yang memiliki pemerintahan yang otonom.
3. Desentralisasi di tingkat desa akan meningkatkan fungsi pemerintahan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. (www.forumdesa.org)
Meskipun Desa seharusnya menjadi basis desentralisasi dan mampu menjalankan peran sebagai self governing community, kebanyakan Desa menghadapi masalah yang akut. Pertama : Desa memiliki APBDES yang kecil dan sumber pendapatannya sangat tergantung pada bantuan yang sangat kecil pula. Kedua : Kesejahteraan masyarakat desa rendah sehingga susah bagi Desa mempunyai Pendapatan Asli Desa (PADes) yang tinggi. Ketiga : Masalah itu diikuti oleh rendahnya Dana Operasional Desa untuk menjalankan pelayanan. Keempat : Tidak kalah penting bahwa banyak program pembangunan masuk ke desa, tetapi hanya dikelola oleh Dinas. Program semacam itu mendulang kritikan bahwa program tersebut tidak memberikan akses pembelajaran bagi Desa dan program itu bersifat top down sehingga tidak sejalan dengan kebutuhan Desa dan masyarakatnya. (www.forumdesa.org)
Menurut Ilham Maulana, Ketua Forum Masyarakat Labuhan Batu, data survey dari Desa Tebangan Kec.Bilah Barat dan Desa Aek Bontar Kec.Bilah Hulu yang dilakukan mulai tahun 2004 hingga 2007 menunjukkan bahwa beberapa desa yang melakukan pemberdayaan (swadaya) oleh kelompok swadaya yang tidak di program (proyek) justru berhasil dengan baik, seperti membuat kolam ikan mas, nila dan lele secara kolektif yang bisa ditularkan ke beberapa dusun lain di Bilah Barat. Pembangunan masjid, aula desa dan sekolah secara swadaya juga berhasil di Kec. Bilah Hulu dan dikerjakan sendiri. (www.bitra.or.id/news.php)
Banyak hal telah dilakukan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, akan tetapi masih menemui jalan buntu. Seperti Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Takesra, Kukesra, PDMDKE, P2KP dll, belum dapat memberikan hasil yang spektakuler. Turunnya berbagai bantuan tersebut belum ditindaklanjuti dengan manajemen program yang tepat. Untuk menciptakan keberdayaan dan kemandirian masyarakat, tidak cukup dengan stimulan dana saja. Semestinya stimulan dana tersebut dibarengi dengan kemampuan manajemen dan pengorganisasian yang baik. (Ambar Teguh Sulistiyani, 2004 : 19).
Menurut Ilham Maulana, belum berhasilnya upaya pemberdayaan dan penanggulangan kemiskinan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah seperti penyediaan kebutuhan pangan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, pembangunan pertanian, pemberian dana bergulir, pembangunan sarana dan prasarana umum dan pendampingan, dikarenakan kebijakan program yang selama ini dilakukan merupakan kebijakan dari pemerintah pusat (top down), di mana kebijakan tersebut mempunyai banyak kelemahan yang perlu dikoreksi secara mendasar seperti : (1) Pemberdayaan yang berindikasi KKN (2) Masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi makro (3) Kebijakan yang terpusat (4) Lebih bersifat karikatif (5) Memposisikan masyarakat sebagai obyek (6) Cara pandang kemiskinan yang diorientasikan pada ekonomi (7) Bersifat sektoral (8) Kurang terintegrasi (9) Tidak berkelanjutan atau mengesampingkan faktor/daya dukung lingkungan. (www.bitra.or.id/news.php)
Gerakan pembangunan selama ini sering kali bias kepentingan politik. Atmosfir semacam itu berdampak pada pelayanan publik yang tidak merata. Ada desa yang selalu mengalir dengan lancar proyek-proyek dari tahun ke tahun, atau bahkan bisa bertumpuk beberapa proyek secara bersamaan, namun ada desa yang sama sekali tidak pernah tersentuh proyek tersebut. Kondisi semacam ini di samping menciptakan kecemburuan antar masyarakat juga membangun rasa enggan, apatis, bahkan kebencian pada pemerintah bagi desa yang tidak pernah kebagian proyek tersebut. (www.forumdesa.org)
Selain itu, beban pembangunan bisa dikatakan lebih besar di kota daripada desa. Akses pelayanan publik di kota jauh lebih cepat berkembang daripada di desa dan dengan demikian pelayanan masyarakat semakin senjang dari waktu ke waktu. Strategi pembangunan semacam ini tidak akan bisa mengatasi kemiskinan struktural. Jumlah kemiskinan di desa akan selalu lebih tinggi dan urbanisasi akan terus semakin besar. Sejalan dengan permasalahan tersebut, pada tahun 2005 pemerintah mengeluarkan kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD), yang ditandai dengan terbitnya PP Nomor 72 Tahun 2005, yang tujuannya lebih mengarah pada pemberdayaan desa.
Pelaksanaan alokasi dana desa (ADD) diatur oleh pemerintah dalam PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Dalam pasal 68 ayat 1 huruf c, dijelaskan bahwa bagian dari dana perimbangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota untuk desa paling sedikit 10% yang pembagiannya untuk setiap desa secara proporsional yang merupakan Alokasi Dana Desa. Peraturan mengenai Alokasi Dana Desa ditindak lanjuti melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 140/640/SJ Tahun 2005 tentang Pedoman Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Desa yang intinya berisi mengenai prosedur pelaksanaan Alokasi Dana Desa.
Untuk menindaklanjuti PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa serta SE Mendagri Nomor 140/640/SJ tentang Pedoman Alokasi Dana Desa, pemerintah kabupaten X pada tahun 2006 mengeluarkan Perda Nomor 27 Tahun 2006 tentang Keuangan Desa dan kemudian mengeluarkan Peraturan Bupati X Nomor 9 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Sumber Pendapatan dan Kekayaan Desa.
Untuk mengatur pelaksanaan Alokasi Dana Desa secara lebih rinci, Pemerintah Kabupaten X kemudian mengeluarkan Peraturan Bupati X Nomor 20 Tahun 2007 tentang Mekanisme Penyaluran Alokasi Dana Desa (ADD) dimana dalam Bab II Pasal 5 mengatur tentang Penggunaan Alokasi Dana Desa yakni Alokasi Dana Desa yang diterima Pemerintah Desa sejumlah 30% dipergunakan untuk biaya operasional penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Biaya operasional tersebut mencakup : (a) Belanja Pemerintah Desa seperti belanja barang, belanja pemeliharaan, biaya perjalanan dinas, biaya rapat, ATK dan lain-lain sebesar 20%. (b) Operasional dan tunjangan BPD terdiri dari tunjangan pimpinan dan anggota BPD, perjalanan dinas, biaya rapat dan ATK sebesar 25%. (c) Tambahan kesejahteraan Kepala Desa dan Perangkat Desa sebesar 15%. (d) Bantuan biaya operasional Lembaga Desa yang dibentuk, diakui dan dibina oleh Pemerintah Desa seperti LPMD, RT, RW, PKK, Karang Taruna dan LINMAS sebesar 40%. Kemudian ADD yang diterima Pemerintah Desa sejumlah 70% dipergunakan untuk pemberdayaan masyarakat desa. Pemberdayaan masyarakat desa ini mencakup : (a) Belanja pembangunan fisik diprioritaskan untuk mendukung pengentasan kemiskinan, peningkatan pendidikan, kesehatan masyarakat desa dan peningkatan pelayanan masyarakat. (b) Belanja pembangunan non fisik dalam rangka penguatan ekonomi masyarakat desa.
Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Bupati X Nomor 20 Tahun 2007, ADD dimaksudkan untuk membiayai program Pemerintahan Desa dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Sedangkan tujuan dari ADD adalah :
1. Meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan desa dalam melaksanakan pelayanan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa sesuai kewenangannya.
2. Meningkatkan kemampuan lembaga kemasyarakatan di desa dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan secara parti sipatif sesuai dengan potensi desa.
3. Meningkatkan pemerataan pendapatan, kesempatan bekerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat desa.
4. Mendorong peningkatan swadaya gotong-royong masyarakat desa.
Alokasi Dana Desa (ADD) adalah dana yang dialokasikan oleh Pemerintah Kabupaten untuk Desa, yang bersumber dari bagian dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten. Pemberian ADD merupakan stimulus bagi kemandirian masyarakat desa dalam melakukan pembangunan di wilayahnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bupati X, Rina Iriani, yang mengemukakan bahwa ADD dapat dijadikan stimulan untuk menggerakkan masyarakat agar berpartisipasi dalam pembangunan, karena kalau hanya mengandalkan dana pemerintah, jumlahnya sangat terbatas. Nantinya, desa yang terbesar dalam penggalian swadaya akan memperoleh penghargaan (Solopos, 30 Juli 2007 hal IX).
Dengan sudah ditetapkannya berbagai macam dasar hukum mengenai ADD diatas, maka Desa X sebagai bagian daerah di Kabupaten X berkewajiban untuk melaksanakan kebijakan ADD sesuai dasar hukum yang telah ditetapkan dan pada Desa X sudah menerapkannya. Akan tetapi, dalam pelaksanaan ADD tersebut peneliti menemukan permasalahan khususnya mengenai pemberdayaan masyarakatnya.
Dalam Musrenbangdes ada usulan pembangunan dari Dusun Kabang yang tidak dimasukkan dalam APBDesa X. Usulan tersebut yaitu usulan untuk membangun jembatan yang sudah runtuh sebagian karena curah hujan yang tinggi. Jembatan tersebut merupakan akses terdekat yang menghubungkan Dusun Kabang dengan jalan utama ke Desa X. Seharusnya usulan ini bisa menjadi prioritas dalam pembangunan di Dusun Y. Hal ini seperti yang diungkapkan Bapak Suwarto selaku Perangkat Desa X sebagai berikut :
"Dalam Musrenbangdes ada usulan pembangunan dari Dusun Kabang yang tidak dimasukkan dalam APBDesa X. Usulan tersebut yaitu usulan untuk membangun jembatan yang sudah runtuh sebagian karena curah hujan yang tinggi." (Wawancara, 2/6/2008)
Selain itu, dalam pelaksanaanya, penggunaan ADD di Desa X sejumlah 70% yang dipergunakan untuk pemberdayaan masyarakat desa secara keseluruhan hanya mencakup belanja pembangunan fisik saja. Padahal dalam Peraturan Bupati X Nomor 20 Tahun 2007 dijelaskan bahwa ADD yang diterima Pemerintah Desa sejumlah 70% dipergunakan untuk pemberdayaan masyarakat desa harus mencakup belanja fisik dan belanja non fisik.
Berdasarkan permasalahan yang terkait dengan penggunaan ADD tersebut, peneliti menjadi tertarik untuk mengetahui pelaksanaan ADD di Desa X terutama mengenai pengembangan program pemberdayaan masyarakat. Apakah ADD ini hanya diposisikan sebagai dana proyek pembangunan saja (hal ini cenderung seperti transfer keuangan saja dari Pemerintah Kabupaten ke Pemerintah Desa dan seluruh pembangunan dikerjakan oleh Tim Pelaksana ADD) atau ADD diposisikan sebagai dana untuk membangun wilayahnya sekaligus untuk meningkatkan kemampuan masyarakatnya.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan Alokasi Dana Desa (ADD) di Desa X ?
2. Faktor apa saja yang mendukung dan menghambat pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan Alokasi Dana Desa (ADD) di Desa X ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan fokus permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan Alokasi Dana Desa (ADD) di Desa X.
2. Untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan Alokasi Dana Desa (ADD) di Desa X.
3. Untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar kesarjanaan (S-1) Ilmu Administrasi di Fakultas Ilmu dan Ilmu Politik.
D. MANFAAT PENELITIAN
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten X, khususnya Pemerintah Desa di X
Diharapkan dapat menjadi masukan dan sekaligus evaluasi terhadap pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan Alokasi Dana Desa (ADD) di Desa X.
2. Bagi Penulis
Karya ini dapat melatih kepekaan penulis untuk menemukan masalah dalam masyarakat serta dapat menjadi syarat guna memperoleh gelar kesarjanaan (S-1) Ilmu Administrasi di Fakultas Ilmu dan Ilmu Politik.