SKRIPSI ANALISIS PERIMBANGAN KEUANGAN PUSAT DAERAH DALAM KONSEP DESENTRALISASI FISKAL SEBELUM DAN SELAMA OTONOMI DAERAH


(KODE : EKONPEMB-0016) : SKRIPSI ANALISIS PERIMBANGAN KEUANGAN PUSAT DAERAH DALAM KONSEP DESENTRALISASI FISKAL SEBELUM DAN SELAMA OTONOMI DAERAH




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perwujudan dari asas desentralisasi adalah berlakunya otonomi daerah.
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta antara provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan prasyarat dalam sistem pemerintah daerah (Bratakusumah dan Solihin, 2001 : 169).
Fenomena yang muncul pada pelaksanaan otonomi daerah dari hubungan antara sistem pemerintah daerah dengan pembangunan adalah ketergantungan pemerintah daerah yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Ketergantungan ini terlihat jelas dari aspek keuangan, dimana pemerintah daerah kehilangan keleluasaan bertindak untuk mengambil keputusan-keputusan yang penting, dan adanya campurtangan pemerintah pusat yang tinggi terhadap pemerintah daerah. Pembangunan daerah terutama fisik memang cukup pesat, tetapi tingkat ketergantungan fiskal daerah terhadap pusat sebagai akibat dari pembangunan juga semakin besar. Ketergantungan terlihat dari relatif rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dominannya transfer dari pusat. Ironisnya, kendati pelaksanaan otonomi menitikberatkan pada kabupaten/kota sebagai ujung tombak, namun justru kabupaten/kota-lah yang mengalami tingkat ketergantungan yang lebih tinggi dibanding propinsi (Kuncoro, 2004 : 18).
Di Seminar Nasionalnya, Machfud Sidik Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen Keuangan RI berpendapat bahwa desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan dibawahnya untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat. Desentralisasi tidaklah mudah untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi dan sistem pemerintahan dan pembangunan sosial dan ekonomi. Secara umum, desentralisasi mencakup aspek-aspek politik (political decentralization), administratif (administrative decentralization), fiskal (fiscal decentralization) dan ekonomi (economic or market decentralization).
Desentralisasi administratif merupakan pelimpahan wewenang untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber-sumber keuangan dalam penyediaan pelayanan umum. Pelimpahan tanggung jawab tersebut terutama menyangkut perencanaan, pendanaan, dan manajemen fungsi-fungsi pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada aparatnya di Daerah, tingkat pemerintahan yang lebih rendah, badan otoritas tertentu, atau perusahaan tertentu.
Desentralisasi administratif pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 3 bentuk, yaitu :
1. Dekonsentrasi (deconcentration), yaitu pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada pejabat di daerah yang berada dalam garis hierarkinya.
2. Devolusi (devolution), yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahan dan pihak Pemerintah Daerah mendapat discretion yang tidak dikontrol oleh Pemerintah Pusat. Dalam hal tertentu dimana Pemerintah Daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya, Pemerintah Pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas pelaksanaan tugas tersebut. Pemerintah Daerah memiliki wilayah administratif yang jelas dan legal dan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk melaksanakan fungsi publik, menggali sumber-sumber penerimaan serta mengatur penggunaannya. Dekonsentrasi dan devolusi dilihat dari sudut konsepsi pemikiran hierarki organisasi dikenal sebagai distributed institutional monopoly of administrative decentralization.
3. Pendelegasian (delegation or institutional pluralism) yaitu pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi reguler yang dikontrol secara tidak langsung oleh Pemerintah Pusat.
Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur dengan ketentuan perundang-undangan. Pihak yang menerima wewenang mempunyai keleluasaan (discretion) dalam penyelenggaraan pendelegasian tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada pihak pemberi wewenang (sovereign-authority).
Desentralisasi fiskal merupakan komponen utama dari desentralisasi. Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran di sektor publik, maka mereka harus mendapat dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Pinjaman, maupun Subsidi/Bantuan dari Pemerintah Pusat. Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik kalau didukung faktor-faktor (Sidiq, 2002 : 4), yaitu :
1. Pemerintah Pusat yang mampu melakukan pengawasan dan enforcement. 2. SDM yang kuat pada Pemerintah Daerah guna menggantikan peran Pemerintah Pusat.
3. Keseimbangan dan kejelasan dalam pembagian tanggung jawab dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah.
Desentralisasi fiskal implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada daerah adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Untuk itu, perlu diatur perimbangan keuangan (hubungan keuangan) antara pusat dan daerah yang dimaksudkan untuk membiayai tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Kebijaksanaan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dilakukan dengan mengikuti pembagian kewenangan atau money follows function. Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan antara pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa, sehingga kebutuhan pengeluaran yang akan menjadi tanggung jawab daerah, dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada.
Penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat yang berdasarkan azas desentralisasi, Kepala Daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak/retribusi (tax assignment) dan pemberian bagi hasil penerimaan (revenue sharing) serta bantuan keuangan (grant) atau dikenal sebagai dana perimbangan sebagai sumber dana bagi APBD. Secara umum, sumber dana bagi daerah terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan (dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus) dan pinjaman daerah, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Tiga sumber pertama langsung dikelola oleh Pemerintah Daerah melalui APBD, sedangkan yang lainnya dikelola oleh Pemerintah Pusat melalui kerjasama dengan Pemerintah Daerah. Setidaknya ada empat penyebab utama tingginya ketergantungan terhadap transfer dari pusat (Kuncoro, 2004 : 13), yaitu :
1. Kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah.
2. Tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan.
3. Kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan.
4. Ada yang khawatir bila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya disintegrasi dan separatisme.
Oleh karena itu, alternatif solusi yang ditawarkan adalah (Kuncoro, 2004 : 15) :
1. Meningkatkan peran BUMD.
2. Meningkatkan penerimaan daerah.
3. Meningkatkan pinj aman daerah.
Pembangunan daerah adalah suatu proses yang berdimensi banyak yang melibatkan perubahan besar dalam struktur sosial, sikap masyarakat dan kelembagaan daerah, semisal percepatan pertumbuhan ekonomi daerah dan faktor penentu lainnya. Tujuan pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan cara memperluas kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, peningkatan hubungan antar daerah serta terus diupayakan adanya proses pergeseran struktur kegiatan ekonomi. Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan pembangunan daerah adalah : (i) mendorong mengupayakan pekerjaan yang berkualitas tinggi bagi penduduk dengan mengupayakan peningkatan sumber daya yang berkualitas, sehingga mampu berperan dalam aktivitas yang lebih produktif (ii) menciptakan stabilitas ekonomi dengan cara menyiapkan sarana prasarana yang dibutuhkan bagi pengembangan aktivitas ekonomi daerah (Mulyanto, 2004).  
Masalah pokok dalam pembangunan daerah sering terletak pada penekanan kebijakan-kebij akan yang didasarkan pada kekhasan yang dimiliki oleh suatu daerah. Berdasarkan asas ekonomi daerah, hal-hal yang berhubungan dengan kebij aksanaan, perencanaan, pengawasan maupun pembiayaan kegiatan pemerintah daerah menjadi wewenang dan tugas pemerintah daerah. Melihat keadaan tersebut, maka untuk mencapai tujuan dari suatu pembangunan daerah yaitu meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah, pemerintah dan masyarakat harus secara bersama-sama mengambil inisiatif untuk berperan dalam pembangunan daerah.
Selain mengerahkan segala potensi yang ada untuk lebih mendorong pembangunan dalam rangka pengembangan wilayah dan masyarakat, pembangunan ekonomi regional juga sudah mulai ditekankan pada kerjasama dan sinergisitas antar sektor dan antar daerah. Pembangunan ekonomi regional yang diiringi dengan pengembangan kerjasama antar wilayah menjadi alternatif bagi suatu daerah yang pembangunannya sudah pesat. Selain itu, kerjasama juga diharapkan dapat membantu percepatan pembangunan bagi daerah yang proses pembangunannya tergolong lambat dibandingkan dengan daerah di sekitar yang lebih pesat. Daerah yang pertumbuhannya lebih tinggi akan memberikan peluang atau membantu daerah tetangga untuk mengejar ketertinggalan misalnya dengan kerjasama pengembangan jaringan investasi.
Dimulainya beberapa kerjasama antar beberapa pemerintah daerah dalam lingkup regional atau yang disebut dengan Regional Management ini tidak lain bertujuan untuk secara bersama mengoptimalkan pemanfaatan berbagai sumber daya secara khusus dalam bidang ekonomi, kemudian juga bidang investasi sehingga akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan merata antar daerah dan juga dapat menciptakan daya saing antar daerah (Efiawan dalam Adi Tri, 2009). Untuk daerah Jawa Tengah ada kerjasama antar daerah dengan dasar kerjasama ekonomi regional yaitu Kawasan X yang merupakan Kawasan Strategis Pertumbuhan di wilayah Provinsi Jawa Tengah dan merupakan Wilayah Pembangunan II di Provinsi Jawa Tengah (Mulyanto, 2002). Kawasan ini pusat pertumbuhannya adalah Kota X karena pembangunan ekonominya cukup bagus dibandingkan dengan daerah tetangga, terlihat dari iklim investasi yang kondusif dan berkembang ditandai dengan pesatnya pertumbuhan sentra-sentra ekonomi baik itu yang tradisional maupun modern.
Dari paparan diatas tampak jelas bahwa faktor kemampuan mengelola keuangan daerah merupakan faktor yang sangat menentukan bagi keberhasilan pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Maka diharapkan kemampuan mengelola keuangan daerah yang lebih baik dapat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah.
PDRB atas dasar harga berlaku daerah kabupaten/kota di X menunjukkan harga yang berlaku pada tahun tersebut yang digunakan untuk menilai barang dan jasa pada tahun tersebut. Dalam hal ini nilai barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksi di dalam suatu daerah dalam satu tahun tertentu. Dalam kurun waktu lima tahun menunjukkan penerimaan daerah di setiap Kabupaten/Kota di X selalu meningkat, ini berarti menunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.
Dalam masalah keuangan daerah, perimbangan pembiayaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan pendapatan yang secara leluasa digali sendiri untuk mencukupi kebutuhan sendiri masih mempunyai kelemahan sehingga keterbatasan dalam potensi penerimaan daerah tersebut bisa menjadikan ketergantungan terhadap transfer pusat. Pemerintah Daerah selama ini memiliki keterbatasan pembiayaan dari potensi sendiri (PAD). Selama ini komponen pembiayaan terbesar berasal dari dana transfer dari pusat yaitu Dana Alokasi Umum dan hanya sebagian kecil dari PAD, potensi pembiayaan lain yang belum dikelola yaitu dari pinjaman daerah (Santoso, 2003 : 148).
Penelitian ini, peneliti akan mencoba menganalisis tentang bagaimana perimbangan keuangan pusat-daerah di Kabupaten dan kota di X, dimana diketahui sumber-sumber keuangan daerah yang berbeda-beda, pertumbuhan ekonomi, keadaan penduduk, keadaan geografi, PDRB perkapita yang berbeda-beda pula sehingga Pemerintah Daerah dalam menjalankan konsep desentralisasi juga berbeda, dalam alokasi keuangannya. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dipilih judul Analisis Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah dalam Konsep Desentralisasi Fiskal di X Sebelum dan Selama Otonomi Daerah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tentang latar belakang masalah diatas, dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi perkembangan Keuangan Daerah Kabupaten/Kota di X sebelum dan selama Otonomi tahun Daerah 1997-2008 ditinjau dari Derajad Desentralisasi Fiskal, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, UpayaFiskal, Derajad Otonomi Fiskal ?
2. Bagaimana tingkat kemandirian keuangan daerah Kabupaten/kota di X terhadap penyelenggaraan otonomi daerah jika diukur dengan menggunakan Rasio kemandirian daerah dan pola hubungan dan tingkat kemandirian keuangan daerah ?
3. Bagaimana perbandingan pada masing-masing Kabupaten/kota di X dalam kesiapannya menghadapi otonomi daerah dari sisi kemampuan keuangan daerah ?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah Kabupaten/Kota di X sebelum dan selama otonomi daerah pada tahun 1997-2008 ditinjau dari Derajat Desentralisasi Fiskal, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya Fiskal, Derajat Otonomi Fiskal.
2. Untuk mengetahui tingkat kemandirian keuangan daerah Kabupaten/kota di X terhadap penyelenggaraan otonomi daerah jika diukur dengan menggunakan Rasio kemandirian daerah dan pola hubungan dan tingkat kemandirian keuangan daerah.
3. Untuk mengetahui perbandingan pada masing-masing Kabupaten/kota di X dalam kesiapannya menghadapi otonomi daerah dari sisi kemampuan keuangan daerah, sehingga diketahui Kabupaten/kota tersebut apakah tergantung pada transfer pusat atau tidak.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat, yaitu :
1. Dapat mengetahui hubungan keuangan pusat-daerah dalam konsep desentralisasi fiskal di X, sehingga dapat menjadi tambahan pembelajaran bagi pembaca dalam membandingkan antara Kabupaten/ Kota di kawasan X, bagaimana kemandirian setiap kabupaten tersebut dan dapat mengetahui seberapa besar ketergantungan pemerintah daerah setiap Kabupaten.
2. Bagi peneliti menambah pengetahuan yang selama ini di dapat di bangku kuliah yang kemudian dikembangkan dalam bentuk penelitian.
3. Sebagai masukan bagi pembuat kebijakan pemerintah daerah setempat, dan lembaga-lembaga terkait dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Postingan terkait: