Pendidikan tak bisa dipisahkan dengan rakyat. Pendapat inilah yang dianut oleh para pendiri bangsa dan tokoh pendidikan di awal kemerdekaan. Bagi mereka, pendidikan adalah aset sebuah bangsa dan dipergunakan untuk mencapai cita-cita kolektifnya.
Kita bisa menengok pemikiran Bung Hatta. Menurut Bung Hatta, pendidikan harus melayani kebutuhan rakyat. Karenanya, pelajaran atau kurikulum pun harus disesuaikan dengan kepentingan rakyat dalam perkembangannya. Artinya, jika sekarang rakyat sedang membangun, maka lembaga pendidikan mesti mencetak ‘tenaga pembangunan’.
Nah, supaya tanggung-jawab itu bisa terlaksana, maka pendidikan nasional harus mengutamakan pendidikan karakter. Bagi Bung Hatta, tujuan universitas tidaklah semata-mata mendidik orang untuk ilmu pengetahuan, tetapai juga untuk mendidik karakternya. “Ilmu dapat dipelajari oleh segala orang yang cerdas dan tajam otaknya, tetapi manusia yang berkarakter tidak bisa diperoleh begitu saja,” kata Bung Hatta.
Manusia berkarakter itu meliputi: kecintaan pada kebenaran, berpihak kepada rakyat, siap berjuang demi negara di segala lapangan kehidupan, berfikiran kritis-konstruktif, mengabdi kepada kemanusiaan, dan lain-lain.
Inilah dilema dalam pendidikan kita sekarang. Sistem pendidikan nasional, yang makin tunduk pada ideologi pasar, makin menjauh dari kepentingan rakyat dan negara. Pendidikan nasional tak lagi menghasilkan manusia berkarakter. Alhasil, kita punya banyak ahli atau pemikir di segala bidang, tetapi sangat sedikit yang berdedikasi kepada negara dan rakyat.
Lihat saja ekonom-ekonom kita. Banyak diantara mereka yang menimbah ilmu ekonomi di luar negeri. Namun, ketika mereka menjadi pejabat negara, kebijakan mereka justru menghancurkan ekonomi nasional dan memiskinkan rakyat. Mereka punya gelar tinggi dan faham teori-teori ekonomi. Namun, corak berfikir mereka belum lepas dari “economische minderwaardigheid”, yaitu penyakit orang yang selalu merasa rendah diri dalam perekonomian.
Ada beberapa persoalan di sini. Pertama, proses penyelenggaran pendidikan kita sudah bergeser dari semangat pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, menjadi semangat melayani kepentingan akumulasi keuntungan.
Kedua, kurikulum pendidikan tidak lagi disandarkan pada kebutuhan rakyat. Yang terjadi, kurikulum disusun sesuai dengan kepentingan pasar tenaga kerja dan kebutuhan industri kapitalis. Akhirnya, banyak pengetahuan yang dikembangkan di universitas tidak bisa menjawab problem konkret rakyat.
Ketiga, proses penyelenggaraan pendidikan nyaris tanpa partisipasi dan keterlibatan massa rakyat. Tembok-tembok universitas dibangun tinggi-tinggi untuk memisahkan kehidupan kampus dan rakyat di sekitarnya. Akibatnya, lembaga-lembaga pendidikan seperti terisolasi dari massa rakyat. Sebagian besar lembaga pendidikan di Indonesia itu bak menara gading di tengah-tengah massa rakyat.
Keempat, banyak pejabat universitas di Indonesia bermental inlander. Ini terlihat, misalnya, pada semangat “asingisasi” perguruan tinggi. Mereka bangga jika kampusnya mendapat kategori “world class university”. Ironisnya, internasionalisasi pendidikan hanya dimaknai sekadar penggunaan bahasa asing (Inggris) dalam pengantar kuliah. Sedangkan corak dan kedalaman ilmunya masih tetap terbelakang.
Kelima, pendidikan nasional sekarang sangat diskriminatif, segmentatif, dan banyak pengecualian. Orang-orang yang bisa mengenyam pendidikan hanyalah orang yang sanggup membeli atau membayar mahal. Ini akibat bekerjanya ideologi pasar dalam dunia pendidikan nasional.
Keenam, pendidikan nasional saat ini sangat alergi dengan fikiran-fikiran kritis dan emansipatoris. Akhir-akhir ini kita sering menyaksikan keputusan pejabat universitas mend-DO mahasiswa-mahasiswa kritis. Juga, tak sedikit universitas yang alergi dengan pergerakan mahasiswa.
Kekayaan terbesar suatu bangsa terletak pada pengetahuan rakyatnya. Karena itu, sesuai dengan pembukaan UUD 1945, pendidikan nasional harus bisa mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan di sini tak bisa dimaknai sekedar punya “ilmu pengetahuan”, tetapi juga harus punya keberpihakan dan keterlibatan dalam pembangunan bangsa. Karena itu, mutlak kurikulum itu harus menekankan agar siswa bisa berfikir kritis, faham akan realitas sosial di sekitarnya, dan punya tanggung jawab moral bagi perjuangan rakyat dan bangsanya. Juga, tak kalah pentingnya, harus sesuai dengan kepribadian bangsa kita.
sumber : http://www.berdikarionline.com/editorial/20120703/pentingnya-pendidikan-karakter.html
Kita bisa menengok pemikiran Bung Hatta. Menurut Bung Hatta, pendidikan harus melayani kebutuhan rakyat. Karenanya, pelajaran atau kurikulum pun harus disesuaikan dengan kepentingan rakyat dalam perkembangannya. Artinya, jika sekarang rakyat sedang membangun, maka lembaga pendidikan mesti mencetak ‘tenaga pembangunan’.
Nah, supaya tanggung-jawab itu bisa terlaksana, maka pendidikan nasional harus mengutamakan pendidikan karakter. Bagi Bung Hatta, tujuan universitas tidaklah semata-mata mendidik orang untuk ilmu pengetahuan, tetapai juga untuk mendidik karakternya. “Ilmu dapat dipelajari oleh segala orang yang cerdas dan tajam otaknya, tetapi manusia yang berkarakter tidak bisa diperoleh begitu saja,” kata Bung Hatta.
Manusia berkarakter itu meliputi: kecintaan pada kebenaran, berpihak kepada rakyat, siap berjuang demi negara di segala lapangan kehidupan, berfikiran kritis-konstruktif, mengabdi kepada kemanusiaan, dan lain-lain.
Inilah dilema dalam pendidikan kita sekarang. Sistem pendidikan nasional, yang makin tunduk pada ideologi pasar, makin menjauh dari kepentingan rakyat dan negara. Pendidikan nasional tak lagi menghasilkan manusia berkarakter. Alhasil, kita punya banyak ahli atau pemikir di segala bidang, tetapi sangat sedikit yang berdedikasi kepada negara dan rakyat.
Lihat saja ekonom-ekonom kita. Banyak diantara mereka yang menimbah ilmu ekonomi di luar negeri. Namun, ketika mereka menjadi pejabat negara, kebijakan mereka justru menghancurkan ekonomi nasional dan memiskinkan rakyat. Mereka punya gelar tinggi dan faham teori-teori ekonomi. Namun, corak berfikir mereka belum lepas dari “economische minderwaardigheid”, yaitu penyakit orang yang selalu merasa rendah diri dalam perekonomian.
Ada beberapa persoalan di sini. Pertama, proses penyelenggaran pendidikan kita sudah bergeser dari semangat pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, menjadi semangat melayani kepentingan akumulasi keuntungan.
Kedua, kurikulum pendidikan tidak lagi disandarkan pada kebutuhan rakyat. Yang terjadi, kurikulum disusun sesuai dengan kepentingan pasar tenaga kerja dan kebutuhan industri kapitalis. Akhirnya, banyak pengetahuan yang dikembangkan di universitas tidak bisa menjawab problem konkret rakyat.
Ketiga, proses penyelenggaraan pendidikan nyaris tanpa partisipasi dan keterlibatan massa rakyat. Tembok-tembok universitas dibangun tinggi-tinggi untuk memisahkan kehidupan kampus dan rakyat di sekitarnya. Akibatnya, lembaga-lembaga pendidikan seperti terisolasi dari massa rakyat. Sebagian besar lembaga pendidikan di Indonesia itu bak menara gading di tengah-tengah massa rakyat.
Keempat, banyak pejabat universitas di Indonesia bermental inlander. Ini terlihat, misalnya, pada semangat “asingisasi” perguruan tinggi. Mereka bangga jika kampusnya mendapat kategori “world class university”. Ironisnya, internasionalisasi pendidikan hanya dimaknai sekadar penggunaan bahasa asing (Inggris) dalam pengantar kuliah. Sedangkan corak dan kedalaman ilmunya masih tetap terbelakang.
Kelima, pendidikan nasional sekarang sangat diskriminatif, segmentatif, dan banyak pengecualian. Orang-orang yang bisa mengenyam pendidikan hanyalah orang yang sanggup membeli atau membayar mahal. Ini akibat bekerjanya ideologi pasar dalam dunia pendidikan nasional.
Keenam, pendidikan nasional saat ini sangat alergi dengan fikiran-fikiran kritis dan emansipatoris. Akhir-akhir ini kita sering menyaksikan keputusan pejabat universitas mend-DO mahasiswa-mahasiswa kritis. Juga, tak sedikit universitas yang alergi dengan pergerakan mahasiswa.
Kekayaan terbesar suatu bangsa terletak pada pengetahuan rakyatnya. Karena itu, sesuai dengan pembukaan UUD 1945, pendidikan nasional harus bisa mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan di sini tak bisa dimaknai sekedar punya “ilmu pengetahuan”, tetapi juga harus punya keberpihakan dan keterlibatan dalam pembangunan bangsa. Karena itu, mutlak kurikulum itu harus menekankan agar siswa bisa berfikir kritis, faham akan realitas sosial di sekitarnya, dan punya tanggung jawab moral bagi perjuangan rakyat dan bangsanya. Juga, tak kalah pentingnya, harus sesuai dengan kepribadian bangsa kita.
sumber : http://www.berdikarionline.com/editorial/20120703/pentingnya-pendidikan-karakter.html