Ketika Anda mendengarkan kalimat “Topeng Monyet” pasti Anda terbayang dengan lucunya seekor monyet menari-nari membawa payung, berputar dengan motornya. Siapa yang tidak terhibur dengan atraksi seperti itu. Saya selalu ingat sewaktu saya kecil, ketika ada pawang monyet itu sedang lewat, saya dan teman-teman selalu mengikuti sampai beberapa gang kemana pawang itu berhenti. Ya karena hanya ingin menikmati lucunya sang monyet menari-nari. Ya memang ini adalah salah satu hiburan masyarakat yang murah meriah.
Tapi dibalik kelucuan dan kelincahan monyet itu menari-nari, pernahkan Anda melihat dan berfikir sejenak, bagaimana mereka melatih monyet-monyet itu, dan juga pernahkan Anda berfikir keadaan monyet-monyet itu ketika mereka menari-nari. Yang sebenarnya habitat mereka bukanlah di kota layaknya kita sebagai manusia. Pemikiran ini saya dapat ketika saya melihat pameran foto Wordpress di Antara, kurang lebih 2 atau 3 tahun lalu. Dimana salah satu fotografer disana menceritakan melalui foto (foto esai) cara pawang-pawang itu melatih monyetnya, sehingga mirip tingkah lakunya dengan manusia. Dari monyet itu masih bayi sudah dipisahkan dengan induknya dan berlatih keras. Terkadang tangan monyet itu diikat kebelakang sepeti maling yang tertangkap, supaya mereka bisa berdiri dengan kakinya dan dapat berjalan layaknya manusia.
Entah Topeng Monyet itu adalah kebudayan atau tidak, yang jelas menurut saya dan beberapa masyarakat pecinta hewan itu adalah suatu penyiksaan. Tapi disisi lain hal ini dianggap lumrah. Sungguh dilema memang, terlepas dari itu, kemiskinan juga yang ujung-ujungnya menjadi tameng untuk tetap eksisnya hiburan yang berdasarkan eksploitasi hewan.
Jadi sirkus pun tak ada bedanya dengan topeng monyet, yang belakangan ini banyak sekali sirkus yang sering diadakan di Jakarta. Pada saat Anda melihat hiburan-hiburan yang menggunakan hewan-hewan, sekali lagi, coba lah Anda membayangkan bagaimana perasaan hewan itu sebelum Anda menertawainya.