-->
Oleh: Ma'rif Fatullah
--> Musim hujan telah tiba. Banyak hal yang perlu dipersiapkan agar hidup berjalan sesuai dengan konsep kemanusiaan dan kealaman. Dari kedua itu memiliki cara tersendiri dalam berhubungan. Taruh misalnya, hubungan manusia dengan manusia yang menggunakan prinsip-prinsip kesetaraan. Tidak ada subyek maupun obyek. Keharusan yang ada adalah egaliter (kesetaraan) sehingga akan melahirkan hubungan timbal balik.
Begitupun dengan alam. Kita tidak tahu secara pasti, apa mereka berhubungan antar masing-masing komponen. Komponen yang dimaksud di sini bisa berupa air, bebatuan, tanah, fosil-fosil dan benda-benda yang memiliki kandungan kimia fisika. Mungkin saja dalam berhubungan antar komponen, mereka menjalankan nilai kesetaraan, sehingga di atas tanah yang lapang bisa kita manfaatkan sebagai tempat tinggal, bercocok tanam, beternak. Satu hal yang sering kita lupakan bahwa muculnya fenomena-fenomena alam seperti gempa, banjir, tanah longsor di satu sisi sebagai cara alam memperbaharui bentuk (fostur) tubuh kealamannya. Di sisi lain juga sebagai bentuk protes alam terhadap prilaku manusia.
Mengamati lebih dalam, pemahaman hubungan antara manusia dengan alam, maka kita menemukan kacamata pendekatan, yaitu dimensi keluasan dan dimensi kedalaman. (Husni Muazd, Ph.D).
Dilihat dari pemahaman dimensi keluasan atau disebut kuantitas/jumlah, maka begitu banyak hamparan alam yang belum terjamah oleh manusia. Dengan luasnya hamparan alam itu menandakan bahwa jumlah alam lebih banyak dibandingkan dengan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Bayangkan, dengan keluasannya tiga jenis makhluk hidup mampu hidup di atas kulitnya. Belum lagi hewan yang menempati isi permukaan perutnya seperti cacing, semut, ular dan jangkrik yang keluar masuk lewat pintu yang dibuatnya sendiri berupa lubang-lubang sebesar badannya. Sehingga apabila dilihat dari pemahaman ini sesungguhnya manusia, hewan, dan tumubuh-tumbuhan adalah bagian dari alam.
Pemahaman kedua adalah dimensi kedalaman (kualitas). dilihat dari pendapat ini, meskipun pada jumlah yang sedikit, pada hal ini sebetulnya alam merupakan bagian dari manusia. Sehingga wajar dalam pandangan Islam, Allah telah mengutus manusia menjadi mandataris-Nya untuk megelola alam ini (Al-Baqarah: 30). Nah, yang menjadi pertanyaan, bagaimana manusia mengelola alam ini?
Jika kita memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam dan alam bagian dari manusia, sebetulnya “kita” adalah “dia” dan “dia” adalah “kita”. Jika alam sakit, maka kita juga sakit, begitupun sebaliknya. Maka dengan asumsi itu, tidak ada alasan bagi kita yang menamakan diri sebagai pengelola untuk menyakiti dan tidak menjaga alam. Jika kita mengelola dia dengan prinsip-prinsip kearifan maka secara tidak langsung alam tersebut akan memberikan kita respon yang arif pula. Dan apabila respon yang kita berikan negatif, maka alam pun akan memberikan kita respon yang negatif pula.
Hal ini sesuai dengan informasi yang disampaikan Allah lewat firman-Nya bahwa telah nampak kerusakan di laut dan di darat karena tangan-tangan manusia. Karena keserakahan manusialah, maka alam menjadi marah. Jika terjadi terus menerus keserakahan itu, lalu kemurkaan alam seperti apalagi yang akan kita dapatkan?
Mari tengok kejadian banjir bandang di Sambalia beberapa tahun lalu, yang disebabkan keserakahan manusia dengan tindakan menebangan pohon secara liar di hutan. Tengok pula di Aceh, puing-puing bangunan dan seolah-olah air laut yang menghujam Aceh lima tahun silam tidak peduli dengan puluhan ribu manusia ikut terseret di dalamnya. Belum lagi kejadian aneh di Porong Jawa Timur yang mengeluarkan ribuan ton lumpur panas yang diperkirakan akan berlangsung selama puluhan tahun. Lalu, apakah tanda-tanda ini tidak membuat kita cukup berpikir bahwa alam juga ingin dijaga?
Untuk itu, mumpung alam masih mau bersahabat dengan kita, mumpung kita dan lingkungan berhubungan tanpa syarat, mumpung Dasan Tapen, kampung yang sama-sama kita cintai masih suka dengan aktivitas ekonomi di Tenten, dan mumpung tumpukan sampah di Jebak belum ‘menggerus’ rumah Amaq Kamarudin (calon haji) dan deretannya, maka tidak terlambat jika saya dan inaq amaq semeton jeri senamian untuk mencintai alam dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan kealaman.
Mulailah membersihkan selokan bagi yang bedekatan, dan tidak ada salahnya jika anak-anak sedini mungkin diajarkan hidup bersih. Mengajak mereka memungut sampah kemudian membuangnya di bakaq ronggo. Kalau tidak punya longkak maka mulailah kita berpikir untuk memperbaiki tempat pembuangan sampah seperti di Jebak, sehingga kita pun lebih lama memanfaatkannya.
Hal ini senada dengan apa yang dipikirkan oleh Papuq Jalaludin, SE. Begitu ia menghampiri jebak hendak ke Banjar Getas, muncul pikiran bersihnya untuk ingin menanggulangi masalah sampah. Begitupun juga dengan semangat Abu Dhira yang mengajak santri-santrinya berdiskusi masalah sampah, sehingga nuansa yang mucul bahwa pengajian di pesantren tidak luput dari nuansa lingkungan. Asumsinya cukup sederhana, bahwa dengan hidup bersih, maka pada saat itulah mereka menjalankan sifat-sifat ketuhanan, yaitu sifat bersih.
Belum lagi dengan kerja nyata yang dilakukan Papuk Tuan Manaf yang menyalurkan bantuan pemerintah berupa water close (WC) lengkap dengan semennya bebeapa tahun silam. Satu lagi gagasan besar teman-teman yang menghimpun diri dalam Persatuan Pemuda Dasan Tapen untuk menempatkan kembali (relokasi) tenten ke tempat yang lebih luas, misalkan saja seperti memindahkan rumah Baloq Bah, tentu dengan harapan orang yang lalu lalang tidak terganggu. Ide ini cukup nyeleneh, tetapi mudah-mudahan tidak dipandang noaq atau teteh.
Thus, ide-ide besar di atas akan terwujud apabila manusia pendukung yang hidup di Dasan Tapen beriuk tinjal untuk berpkir dan berbuat. Tidak ada salahnya jika layanan pemerintah kita manfaatkan untuk membantu program ini. Dan untuk meloloskan program ini tentu harus ada wakil yang menyuarakannya, dalam hal ini lewat orang-orang yang kita percayakan duduk menjadi kadus, anggota dewan, baik itu dewan yang sedang atau akan menjabat di desa, di kabupaten, maupun di propinsi.
Akhir tulisan ini tentu punya ekspektasi yang besar tentang bagaimana kita menjalin hubungan dengan sesama dan hubungan kita dengan lingkungan. Sehingga kita tidak mudah memutuskan sesuatu karena satu permasalahan. Cepat-cepatlah kita saling memperbaiki untuk kepentingan yang lebih besar. Janganlah memberikan respon negatif terhap orang. Terhadap hujan dengan terus ngeluh dengan derasnya air yang di tumpahkan. Sehingga ia pun tidak memberikan respon yang negatif pula. Respon berarti do’a. Wallahu a’lam bissawab.