Kalau Gak Beda Gak Enak

-->
Oleh : Ali Nurdin
MASIH ingat kerusuhan bernuansa SARA Mei 1998 yang menewaskan sedikitnya 1000 orang? Berlanjut di Timor-Timur, Poso, Ambon, Sambas dan sebagainya. Disusul penangkapan Ustad Roy (sholat dengan dwi bahasa) di Jawa Timur, penangkapan pengikut Madi di Sulawesi Tengah, penangkapan pengikut sekte Sholat Bersiul di Sulawesi Barat, penangkapan Aliran Al-Qur’an Suci, Aliran Lia Aminuddin, terakhir pengusiran jama’ah Ahmadiyah diberbagai daerah dan pembubaran sekte Al Qiyadah Al Islamiyah dimana Ahmad Mushodiq mengklaim dirinya sebagai Nabi.
Dapat dikatakan wacana ini sudah basi. Karena sudah gak aktual. Tapi saya mencoba meninjaunya dari sudut berbeda. Menurut saya, peristiwa di atas terjadi karena ketidaksiapan kita menerima perbedaan. Biar bagaimanapun perbedaan selalu ada dan tidak akan pernah hilang dari kehidupan. Sebagaimana dalam firman Allah SWT, “Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat (saja), tetapi Dia memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya.”(Q.S. Al-Syura:8). Seperti adanya siang dan malam, baik dan buruk, laki-laki dan perempuan.
Berangkat dari ayat diatas, tidak serta merta perbedaan suku, agama, ras, warna kulit, bisa menghambat aktivitas. Justru semakin meningkatkan semangat bekerja yang dinamis dan progresif. Jika semakin banyak manfaat di hasilkan maka semakin baik pula hubungan satu sama lain. Sehingga persaingan menjadi yang sehat. Berlomba-lomba kamu dalam kebaikan dan kataqwaan.
Saling memahami dan menghargai, menjaga ego, tidak mengklaim diri dan agamanya lebih baik di publik, tidak saling menjatuhkan dan mengkebiri pihak lain, saya pikir konflik di atas tidak akan terulang. Bisa dibayangkan bagaiman jika sikap-sikap ini terpelihara dengan baik, negara teangga tidak akan semena-mena menginjak martabat bangsa kita. Apa sebab? Karena tatanan masyarakat kita sudah tertata dengan baik.
Perbedaan selalu di stigmakan sebagai sesuatu yang akan mengancam keutuhan komunitas yang sudah mapan. Makanya dengan cara apapun akan bertahan demi menjaga keutuhan. Namun sayang budaya hedonis, yang datang dari luar kerap diabaikan. Padahal budaya hedon merupakan salah satu cara untuk menghancurkan keutuhan negara kita, misalnya.
Dalam salah satu diskusi Evaluasi Toleransi dalam Pemerintahan SBY-JK di Jakarta (22/12), Gus Dur mengatakan pemerintah telah gagal. Menurutnya pemerintah cenderung membiarkan terjadinya berbagai kekerasan agama, terutama kelompok-kelompok minoritas. Para pelaku tidak diproses, apalagi ditangkap. Padahal kata dia, UUD 1945 jelas-jelas melindungi hak beragama warga negara. Jawa Pos (23/12)
Lebih lanjut gus Dur menambahkan, ini pertama kali dalam sejarah, pemerintah tunduk pada kelompok tertentu, bukan pada Pancasila atau Konstitusi dasar lainnnya. MUI pun di tuding memiliki andil dalam peristiwa kekerasan terhadap penganut aliran agama. Seperti penyerangan Jamah Ahmadiyah di Kuningan-Jawa Barat. Hanya dengan berbekal fatwa menyesatkan, mereka bebas merusak. Jadi, bubarkan saja lembaga itu. Jawa Pos (23/12)
Pihak Ahmadiyah pun jangan hanya diam dan mengeluh. Mereka harus bertindak melalui jalur hukum. Bukan ikut-ikutan melakukan kekerasan tapi tuntut pemerintah daerah, kepolisian, hingga kejaksaan patut di tuntut. Ini hanya sebagai contoh. Saya tidak bermaksud memihak kedua pihak.
Bagaimanapun, kebebasan beragama dan berkeyakinan sudah dijamin oleh negara. Maka negara bertanggungjawab penuh terhadap keselamatan warga negaranya. Berikan perlindungan, baik jiwa maupun harta benda. Bukan menjadi alat kekuasaan bagi golongan tertentu. Dengan menangkap dan memenjarakannya seperti yang telah diungkap diatas.
SPL & Piagam Madinah
Untuk sebagian kalangan, munculnya paham Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme serta paham lainnya, dianggap sebagai ancaman. Untuk itu berbagai cara dilakukan untuk mencegah berkembangnya paham-paham tersebut. Bahkan mengharamkannya. Seperti yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa waktu lalu. Tentu saja hal ini dianggap sebagai tindakan yang berlebihan. Mengingat negara kita terdiri dari berbagai golongan dan keyakinan (majemuk).
Yang namanya manjemuk, tentu banyak unsur yang mendiaminya. Unsur-unsur perbedaan terlihat lebih kental. Konflikpun bisa kapan saja muncul. Jika saling menghargai dan saling menahan diri, insya Allah konflik bisa diredam. Selain itu, di balik beragamnya perbedaan banyak hikmah yang bisa di gali. Dipetik hikmahnya.
Dalam sejarah islam pernah terjadi pertikaian sosial atau konflik horizontal antara suku Bani Aus dan Khazraj, dua aliran besar penganut agama Yahudi. Motifnya perebutan ekonomi dan otoritas politik. Lalu datanglah Nabi Muhammad saw serta sahabatnya (kaum Muhajirin) dan berhasil menyatukan dua kelompok tersebut. Kemudian peristiwa ini diabadikan dalam piagam Madinah. Salah satu isinya menjamin kebebasan menjalankan agamanya masing-masing. Demikian pula dengan Al Qur’an, Al Qur’an memberikan ruang gerak seluas-luasnya untuk berbeda.
Untuk menghindari gesekan yang berakibat kekerasan, perlu adanya dialog lintas agama dan penganut aliran/sekte-sekte. Dialog ini salah satu upaya mengikis konflik yang selama ini kerap terjadi. Karena itu, biasakan diri menerima perbedaan. Seperti yang dialami teman saya, tepatnya di BTN Pengsong Indah Desa Perampuan. Meskipun kanan kiri, depan belakang banyak beragama hindu, dia tetap damai dalam menjalankan ibadah masing-masing.
Sebagaimana dalam salah satu firman-Nya,”Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dapat dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (Q.S. Al-Maidah:48). Sebenarnya mudah untuk jadi satu golongan, tetapi alangkah baiknya banyak golongan. Wong kita saja diciptakan dengan berpasang-pasangan. “Juga dengan perbedaan.!!!”
Akhir kata ada tiga macam ukhuwah yang patut kita jalin. Pertama, ukhuwah ‘Ubudiyah yaitu persaudaraan internal umat islam, kedua, ukhuwah basyariah atau insaniah, yaitu persaudaraan antar-sesama manusia. Dan ketiga, ukhuwah wathaniah yaitu yang berlandaskan kebangsaan. Sehingga dengan kemajemukan itu kita bisa menuai keindahan. Sebab keindahan merupakan bagian dari iman.
Mantan Pimpinan Umum LPM RO’YUNA IAIN Mataram,

Postingan terkait: