BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keinginan mendapatkan anak merupakan fitrah yang diilhamkan Allah. Kefitrian ini, terungkap dalam munajat Zakariya dalam al-Quran :
وإني خفت الموالي من ورائي وكانت امرأتي عاقرا فهب لي من لدنك وليا[1]
Kehadiran anak, sebagai unsur kebahagiaan keluarga diungkapkan dalam penjelasan Bab I Pasal I UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan:
“…membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.” [2]
Dalam realita sosial, pemaknaan kehadiran anak, tidak hanya sekedar pelengkap kebahagiaan keluarga, kehadiran anak berkaitan juga dengan sosial-budaya. Pada sisi ini, pemaknaan kelahiran anak secara langsung dipengaruhi oleh pandangan sosial.
Pada sistem sosial tertentu, kehadiran anak, disamping mengemban harapan dan tanggungjawab pribadinya juga dibebani untuk memenuhi harapan dan kewajiban keluarga dan lingkungan sosialnya. Pada masyarakat patrileneal, misalnya, anak laki-laki begitu banyak diharapkan, karena dianggap sebagai penerus keturunan keluarga. Pada kasus yang lain, walaupun terkesan eksloitatif, kehadiran anak laki dianggap lebih mampu melanjutkan suatu dinasti (trah) atau kelanjutan suatu usaha atau setidaknya dapat membantu menanggung beban ekonomi keluarga.
Dalam sejarah di Negeri Cina, banyak bayi-bayi perempuan yang lahir dibunuh dengan cara yang keji. Bahkan ibu yang melahirkannya dipandang sebagai pendosa yang wajib untuk dihukum oleh anggota keluarganya sendiri.
Dalam rangka melegitimasi kebencian terhadap salah satu jenis kelamin ini, dalam beberapa kasus didukung oleh lembaga agama. Dalam Kitab Talmud, misalnya, terdapat ayat yang menunjukkan kebencian terhadap jenis kelamin perempuan, yang menganggap kelahiran bayi perempuan sebagai bencana paling dahsyat. Bagitupun dalam Agama kristen klasik. Pemujaan mereka terhadap Maryam. Tidaklah menyebabkan mereka lebih menghormati kaum perempuan. Kenyataan ini terungkap dari laporan Mary Daly yang menyebutkan bahwa:
“ Penyiksaaan dan pembakaran terhadap para wanita yang dituduh sebagai penyihir menjadi biasa dan dijadikan kebiasaaan di Eropa pada masa Renaissance. Para anggota pria dari Mystical Body, yang ingin menghidupkan kembali mitos tentang kepala simbolis mereka, berjuang demi”kelahiran kembali melelaui pembunuhan dewi, yaitu dengan dilenyapkannnya secara kejam kehadiran wanita. Teologi dan hukum mereka menuntut pembunuhan besar-besaran ini… ”. [3]
Pada masyarakat Hindu-India, nasib kaum wanita ini lebih tragis. Sebelum perempuan ini menikah, mereka adalah bayi yang terbuang, yang ditaqdirkan untuk menghadapi kehancuran akibat jenis kelamin mereka. Kaum perempuan memiliki sedikit waktu bahkan untuk dirinya sendiri. Bahkan ketika suaminya sudah meninggalpun mereka masih harus melakukan sutte (pembakaran janda). Kenyataan yang sama juga terjadi pada masyarakat Arab Jahiliyah, sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran.:
و اذا بشر احدهم بالأ نثا ظل وجهه مسودا وهو كظيم[4]
Di Indonesia, pandangan diskriminatif ini terlihat pada sebagian masyarakat. Banyak keluarga merasa kurang berbahagia jika belum memiliki anak yang lengkap (laki-laki atau perempuan). Tanpa kontrol yang jelas, gejala ini akan menyebabkan terjadinya ledakan pertumbuhan penduduk. Bagi sebagian keluarga ketidaklengkapan jenis kelamin ini, bahkan dijadikan alasan untuk berpoligami.[5] Contoh lain, pada masyarakat Sumatera Barat, terutama pada masyarakat Minangkabau yang memiliki struktur masyarakat matrilineal, kedudukan anak perempuan menjadi sangat penting. Anak perempuan pada masyarakat minangkabau menjadi penentu terhadap garis keturunan adat. Jargon,“anak-laki-laki atau perempuan sama saja” yang gencar disuarakan pada masa sosialisasi “KB” setidaknya memberikan gambaran tentang kenyataan ini, bahwa belum lengkap kebahagiaan suatu keluarga manakala belum memiliki anak laki dan perempuan.
Keadaaan di atas memberikan gambaran bahwa di masyarakat muncul suatu keinginan untuk memilih jenis kelamin bayi yang dilahirkan. Kenyataan inilah yang kemudian mendasari penelitian-penelitian tentang upaya merencanakan jenis kelamin anak.
Dalam proses penelitian pemilihan jenis kelamin anak, para ahli biologi menemukan bahwa jenis kelamin anak ditentukan oleh 4 faktor, yakni:
a. Posisi pada waktu berhubungan intim;
b. Waktu coitus;
c. Jenis makanan
d. Keasaman dan kebasaan vagina. [6]
Dalam penelitian berikutnya ditemukan pula, sebagaimana diungkapkan oleh Dr.Prita Kusumaningsih SpOG,
“…proses perekayasaan jenis kelamin ini sangat dimungkinkan jika dilakukan sebelum terjadinya konsepsi (pertemuan sel telur dan sperma) Karena setelah konsepsi berarti telah terjadi penyatuan dan sudah tidak dapat lagi dilakukan rekayasa apapun untuk merubah jenis kelamin”.[7]
Dimungkinkannya perekayasaan ini dimulai dengan ditemukannya struktur kromosom yaitu suatu struktur yang terdapat dalam inti sel yang ditempati gen sebagai pembawa sifat keturunan. Pada umumnya, laki-laki dan perempuan mempunyai dua buah kromosom yang bisa menentukan jenis kelamin. Kromosom ini terdapat pada tiap sel orang bersama 44 kromosomlainnya (autosom).[8] Pada wanita, kedua belah kromosomseksnya adalah kromosom X, sementara pada laki-laki kromosom seksnya terdiri atas belahan X dan belahan Y. Dengan demikian, susunan normal kromosomseks pada wanita adalah XX dan pada pria XY. Kromosom X merupakan pembawa sifat perempuan sekaligus penentu jenis kelamin perempuan, dan kromosomY merupakan kromosom pembawa sifat laki-laki dan sekaligus penentu jenis kelamin laki-laki. Apabila sperma yang membuahi sel telur mengandung kromosomX, maka hasilnya ialah embrio perempuan (XX). Tetapi apabila spermatersebut mengandung kromosom Y maka hasilnya adalah embrio laki-laki (XY). Oleh karena itu, jika pembuahan dilaksanakan secara normal maka peluang antara anak laki-laki atau perempuan adalah 50:50.[9]
Dalam penelitian berikutnya ditemukan juga bahwa ada perbedaan pada kedua jenis sel spermatersebut. Kromosom X, karena membawa lebih banyak DNA (2,8 %), memiliki ukuran yang lebih besar dari pada kromosom Y dengan usia yang lebih panjang. Sementara kromosom Y lebih ramping, lebih lincah dengan usia yang pendek[10]
Perbedaan inilah yang dimanfaatkan dalam perekayasaan jenis kelamin anak, yaitu dengan mengupayakan jenis kromosom tertentu ( X atau Y ) yang akan membuahi ovum (Fertilisasi). Sehingga kombinasi sel telur dan sperma terjadi sesuai dengan harapan. Prinsipnya, hanya satu kromosom terpilih yang membuahi ovum.
Perkembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kedokteran ini merupakan revolusi yang berpengaruh pada tatanan kehidupan manusia. Gejala ini perlu disikapi oleh Agama Islam, sejauhmana hukum Islam memberikan ruang bagi pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi ini.
B. Pokok Masalah
1. Bagaimanakah bentuk-bentuk intervensi teknologi dalam pemilihan jenis kelamin anak?
2. Bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap penggunaan teknologi dalam pemilihan jenis kelamin ini ?
C. Tujuan dan Kegunaan
1. Tujuan penelitian
a. Mengetahui teknologi pemilihan jenis kelamin anak;.
b. Menemukan dasar hukum bagi pengembangan teknologi rekayasa jenis kelamin.
2. Kegunaannya:
a. Sebagai kontribusi pemikiran dalam khazanah pengetahuan Islam.
b. Sebagai bahan yang berguna bagi penelitian lebih lanjut.
Dapatkan File Selengkapnya (BAB I, BAB II, BAB III, BAB IV - Kesimpulan, dan Daftar Pustaka .).. Lihat Disini