BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan salah satu hal terpenting dalam kehidupan anak, dengan bahasa anak dapat berinteraksi dengan orang lain dan menemukan banyak hal baru dalam lingkungan tersebut. Dengan bahasa juga anak mampu menuangkan suatu ide atau gagasan terhadap keinginannya tersebut. Menurut (Mossofa, 2008 : 14) Bahasa adalah segala bentuk komunikasi dimana pikiran dan perasaan seseorang disimbolisasikan agar dapat menyampaikan arti kepada orang lain. Oleh karena itu perkembangan bahasa dimulai dari tangisan pertama sampai anak mampu bertutur kata.
Hartini (Cahyaningsih, 2009 : 2) mengemukakan bahwa bahasa merupakan sarana berkomunikasi yang sangat penting dalam kehidupan anak. Komunikasi yang diharapkan adalah komunikasi lisan yang tepat guna, artinya bahasa itu harus dapat dipahami oleh orang lain.
Kemampuan bahasa anak usia 4-5 tahun berada dalam fase perkembangan bahasa secara ekspresif. Hal ini berarti bahwa anak lebih dapat mengungkapkan keinginannya, penolakannya, maupun pendapatnya dengan menggunakan bahasa lisan sebagai alat berkomunikasi. Anak usia tersebut dapat mengucapkan kata-kata yang mereka gunakan, dapat menggabungkan beberapa kata menjadi kalimat yang berarti, namun menurut Hurlock (1990 : 190) "kemampuan berkomunikasi pada anak usia prasekolah dengan orang lain masih dalam taraf rendah. Masih banyak kosakata yang harus dikuasai untuk dapat menggunakan bahasanya dengan baik.
Pembendaharaan kosakata berperan penting dalam pengembangan bahasa. Menurut Hurlock (1990 : 113) usia 4-5 tahun, merupakan saat berkembang pesatnya penguasaan tugas pokok dalam berbicara, yaitu menambah kosakata, menguasai pengucapan kata dan menggabungkan kata menjadi kalimat sedangkan menurut Hurlock (1990 : 151) mengemukakan bahwa salah satu tugas utama dalam belajar berbicara ialah anak harus dapat meningkatkan jumlah kosakata, anak harus belajar mengaitkan arti dengan bunyi karena banyak kata yang memiliki arti lebih dari satu dan sebagian kata bunyinya hampir sama, tetapi memiliki arti yang berbeda, maka meningkatkan kosakata jauh lebih sulit dari pada mengucapkannya sehingga diperlukan adanya suatu peningkatan kosakata pada anak yang dapat menunjang pada perkembangan berbicara.
Menurut Dhieni dkk (2005 : 3.1) anak usia 4-5 tahun dapat mengembangkan kosakata secara mengagurukan. Sedangkan menurut Owens (Dhieni, 2005 : 3.1), anak pada usia tersebut memperkaya kosakatanya melalui pengulangan. Dalam menggunakan kosakata tersebut, anak menggunakan fast mapping atau suatu proses dimana anak menyerap arti kata baru setelah mendengarnya sekali atau dua kali dalam percakapan. Pada masa kanak-kanak awal inilah anak mulai mengkombinasikan suku kata menjadi kata, dan kata menjadi kalimat. Selain itu, Dhieni dkk (2005 : 3.1) juga mengungkapkan bahwa anak usia 4-5 tahun rata-rata dapat menggunakan 900 sampai 1000 kosakata yang berbeda. Mereka menggunakan 4-5 kata dalam satu kalimat yang dapat membentuk kalimat pernyataan, tanya, dan perintah. Pada usia 5 tahun pembicaraan anak mulai berkembang dimana kosakata yang digunakan lebih banyak dan rumit. (Dhieni dkk, 2005 : 3.1)
Dalam hal ini peningkatan kosakata Anak Usia Dini khususnya kosakata Bahasa Indonesia sangat penting, namun bukan hanya kosakata Bahasa Indonesia saja yang harus dikuasai dan terus ditingkatkan oleh anak, kosakata Bahasa Daerah pun, khususnya kosakata Bahasa Sunda perlu ditingkatkan dan dikuasai oleh Anak Usia Dini. Hal ini dikarenakan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu dan sebagai pengembang serta pendukung kebudayaan Sunda yang harus diperkenalkan kepada anak. Bahasa Sunda merupakan alat komunikasi etnik sunda. selain itu bahasa Sunda juga sebagai alat pengembang dan pendukung kebudayaan Sunda. Para ahli bahasa telah banyak meneliti dan membuktikan bahwa bahasa Sunda disamping sebagai bahasa resmi kedua setelah bahasa Indonesia, juga menjadi pendukung bahasa nasional. Bahasa Sunda menjadi bahasa ibu hingga kini dijadikan sebagai bahasa pengantar disekolah dasar dijabar pada tingkat permulaan.
Namun pada kenyataannya di Taman Kanak-Kanak penggunaan Bahasa Sunda jarang sekali digunakan. Begitupun dengan masyarakat, sebagian masyarakat belum sadar akan pentingnya bahasa sunda, para Orang Tua lebih senang apabila anak-anaknya menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi. Hal ini menyebabkan banyak anak yang belum bisa menggunakan Bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan rumah maupun dilingkungan sekolah.
Hal ini diperkuat oleh Ajip Rosidi (Harian Umum Pikiran Rakyat) dalam Martini (2009 : 7) yang mengemukakan bahwa :
"....bahasa Sunda sekarang sedang dalam proses kematian, karena kita saksikan orang Sunda secara perlahan-lahan sedang menjalankan pembunuhan terhadap bahasa Sunda sebagai bahasa Ibunya. Kita saksikan kian banyak orang Sunda yang tidak mau bercakap-cakap dengan bahasa Sunda, walaupun sesama orang Sunda. Kita juga saksikan umumnya orang Sunda kalau mau bercakap-cakap tentang hal tertentu lalu beralih kode ke bahasa Indonesia atau bahasa lain. Bahasa Sunda dianggap tidak cukup terhormat untuk menyampaikan pikirannya."
Selain itu Koran Harian Kompas Bandar Lampung dalam Martini (2009 : 7) melaporkan bahwa sebanyak 726 dari 746 bahasa Daerah di Indonesia terancam punah karena generasi muda tidak mau memakai bahasa tersebut. Bahkan kini hanya tersisa 13 bahasa Daerah yang memiliki jumlah penutur diatas 1 juta orang, itupun sebagian besar generasi tua.
Mengingat bahasa Sunda sebagai bahasa ibu dan sebagai pengembang serta pendukung kebudayaan Sunda yang harus diperkenalkan kepada anak, maka pendidikan TK sebagai lembaga pendidikan awal bagi anak harus berupaya untuk membangkitkan kembali minat terhadap penggunaan bahasa Sunda.
Saat Ini di TK, bahasa Sunda kurang menjadi perhatian guru dan dalam pelaksanaan pembelajarannya kurang optimal, hal tersebut dapat terlihat dari jarangnya penggunaan media yang kurang bervariasi yang dapat mempengaruhi perkembangan bahasa Sunda anak dan kurangnya kesadaran dari guru akan pentingnya bahasa daerah. Seperti yang terjadi di TK X, berdasarkan hasil observasi sebelumnya masih banyak anak yang pasif dan diam ketika diajak bicara menggunakan bahasa sunda, bahkan kebanyakan dari mereka tidak bisa berbahasa Sunda.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan di TK dalam mengembangkan bahasa daerah salah satunya dengan mengoptimalkan penggunaan metode pembelajaran. Adapun metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa Sunda khususnya dalam penguasaan kosakata adalah metode bermain peran.
Bermain peran ini diambil karena dalam metode bermain peran ada interaksi yang melibatkan anak dengan teman sebayanya. Dengan metode ini anak-anak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dan bertukar ide, hingga meningkatkan kelancaran berbicara dan memperkaya kosakatanya.
Seperti penelitian yang dilakukan Arixs, (Cahyaningsih, 2009 : 5) tentang penerapan metode belajar sosiodrama atau bermain peran terhadap siswa PAUD di Denpasar Bali, menyimpulkan bahwa sekitar 90% materi pembelajaran dapat diserap anak-anak dengan menggunakan metode belajar sosiodrama, dan 65% maateri pelajaran dapat diserap oleh anak-anak dengan metode belajar konvensional.
Hamalik (Cahyaningsih, 2009 : 5) juga menyatakan bahwa metode bermain peran dapat mendorong siswa untuk mempelajari masalah-masalah sosial yang dapat memupuk komunikasi antar insani dikalangan siswa di kelas. Melalui kegiatan bermain peran siswa akan aktif membicarakan masala-masalah yang ditemuinya, menginformasikan hasil pengalaman melalui kegiatan berbicara. Begitu pula dikemukakan oleh Delpie (Cahyaningsih, 2009 : 5) tentang bentuk-bentuk permainan yang dapat dipakai sebagai intervensi pembelajaran salah satunya yaitu bermain pura-pura atau bermain peran adalah suatu bentuk permainan yang dilakukan oleh anak dengan menggunakan imajinasi agar membantu dalam pengembnagan daya berpikir dan kemampuan berbahasa.
Menurut Masitoh (Cahyaningsih,2009 : 5) bermain peran adalah salah satu metode pembelajaran yang bertujuan untuk mendorong anak berkomunikasi walaupun dengan bahasa yang terbatas menggunakan komunikasi verbal, seperti gerakan tubuh dan ekspresi muka juga melibatkan anak dari berbagai tingkatan melalui anggota tubuh mereka, pikiran, emosi, interaksi social dan bahasa.
Masitoh (Cahyaningsih, 2009 : 5) juga menjelaskan bahwa melalui bermain peran anak memperoleh kesempatan untuk berbagi peran-peran interaktif. Misalnya guru-murid, pedagang-pembeli, dokter-pasien. Selain itu juga anak dituntut untuk mampu beradaptasi dengan peran yang dimainkannya, responsif terhadap akting temannya, terampil berkomunikasi secara efektif mampu menerima kritik bila respon yang diberikan tidak sesuai dengan ekspektasi temannya.
Dalam kehidupan anak TK bermain peran atau bermain pura-pura mempunyai beberapa fungsi, antara lain untuk : menghindari keterbatasan kemampuan yang ada. Mengatasi larangan-larangan, dan menjadi pengganti berbagai hal yang tidak terpenuhi, menghindarkan diri dari hal-hal yang menyakitkan hati, menyalurkan perasaan negatif yang tidak mungkin dapat ditampilkan.
Menurut Moeslichatoen (Cahyaningsih, 2009 : 6) bermain peran atau bermain pura-pura lebih banyak dilakukan oleh anak yang kurang pandai menyesuaikan diri daripada oleh anak yang pandai menyesuaikan diri. Bermain pura-pura sendiri dapat dibedakan dalam bentuk :
a. minat pada personifikasi, misalnya berbicara pada boneka atau benda-benda mati
b. bermain pura-pura dengan menggunakan peralatan, misalnya minum dengan menggunakan cangkir kosong
c. bermain pura-pura dalam situasi tertentu, misalnya situasi kehidupan sehari-hari dalam keluarga, situasi di tempat praktek dokter yang mengobati anak sakit, dan sebagainya.
Bentuk kegiatan bermain peran atau bermain pura-pura merupakan cermin masyarakat disekitarnya dalam kehidupan sehari-hari. Segala sesuatu yang dilihat dan didengar akan terulang dalam kegiatan bermain pura-pura tersebut.
Kegiatan bermain peran ini terbagi dalam dua jenis kegiatan bermain. Pertama bermain peran besar (Makro) yang memerlukan kostum dan perlengkapan sesuai yang diperankan anak. Kedua, bermain peran kecil (Mikro) yang memerlukan peralatan tiruan (mainan).
Hal ini sesuai dengan pendapat Erickson (Ryolitta,2009 : 8) bahwa "teori bermain peran terbagi menjadi dua jenis, yaitu bermain peran mikro atau ukuran kecil dan bermain peran makro atau ukuran sesungguhnya”.
Selain itu menurut Khoirudin (2010) bermain peran mikro adalah kegitan bermain peran atau roleplay dengan menggunakan bahan-bahan main berukuran kecil seperti rumah boneka lengkap dengan perabotannya dan orang-orangan sehingga anak dapat memainkannya, atau rangkaian kereta api dengan rel dan jalan, dengan mobil, lapangan pesawat udara, kebun binatang, kemudian anak memainkanya lengkap dengan skenario yang biasanya disusun seketika dan dimainkannya bersama teman-temanya. Sedangkan bermain peran makro adalah main peran seasungguhnya dengan alat-alat main berukuran sesungguhnya dan anak dapat menggunakannya untuk menciptakan dan memainkan peran-peran, misalnya main dokter-dokteran maka alat permainan yang digunakan antara lain stetoskop mainan ukuran besar, replica jarum suntik, buku resep dan ball point, meja pendaftaran, petugas pendaftaran, perawat yang membantu dokter, kamar periksa dan sebagainya yang semuanya dalam ukuran besar dan dapat dipergunakan seperti kegiatan sesungguhnya. dalam skala besar misalnya kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga, ruang tamu, ruang makan, kamar tidur, meja belajar, garasi, dan sebagainya dan anak-anak ada yang berperan sebagai bapak, ibu, kakak, adik, dan sebagainya.
Kegiatan bermain peran yang akan dilaksanakan di TK X adalah kegiatan bermain peran makro, dimana anak akan memerankan sebagai tokoh-tokoh tertentu, seperti pedagang, guru, dokter, dan lain-lain.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini untuk meneliti mengenai "Efektivitas Penggunaan Metode Bermain Peran Makro terhadap Peningkatan Penguasaan Kosakata Bahasa Sunda Anak Usia Taman Kanak-kanak"
Penelitian ini akan dilakukan di TK X dengan pertimbangan hasil observasi awal yang dilakukan peneliti masih ditemukannya anak yang kosakata Bahasa Sundanya terbatas.
B. Perumusan Masalah
Dalam penelitian ini dirumuskan masalah sebagi berikut :
1. Bagaimana penguasaan kosakata bahasa Sunda anak sebelum diberikan metode pembelajaran bermain peran di TK X?
2. Bagaimana penguasaan kosakata bahasa Sunda anak sesudah diberikan metode pembelajaran bermain peran di TK X?
3. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada kosakata Bahasa Sunda anak sebelum dan sesudah diberikannya metode bermain peran?
C. Tujuan Penelitian
a. Tujuan umum
Memperoleh informasi yang empiris tentang pengaruh penggunaan metode bermain peran terhadap peningkatan kosakata bahasa Sunda anak.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui kosakata bahasa Sunda anak sebelum diberikannya metode bermain peran.
2. Untuk mengetahui kosakata bahasa Sunda anak sesudah diberikannya metode bermain peran.
3. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan yang signifikan pada kosakata bahasa Sunda anak sebelum dan sesudah diberikan metode bermain peran.