Kepercayan pada adanya Tuhan adalah dasar yang utama sekali dalam paham keagamaan. Konsep tentang tuhan berbagai rupa. Umpanya orang percaya pada deisme, tetapi tidak pada teisme atau pada panteisme tetapi tidak pada politeisme. Oleh karena itu fisafat agama merasa penting untuk mempelajari perkembangan faham yang berbeda-beda itu. Study ini dimulai oleh filsafat agama dengan mempelajari faham kekuatan ga’ib yang ada dalam agama-agama primitif.
KONSEP-KONSEP KETUHANAN
1. Dinamisme
“Dinamisme” berasal dari kata yunani “dynamis” yang dalam bahasa indonesia disebut kekuatan. Menurut pandangan masyarakat primitif, tiap-tiap benda yang berada di sekelilingnya mempunyai kekuatan batin yang misterius. Masyarakat-masyarakat yang masih primitif memberi berbagai nama pada kekuatan yang misterius ini. Dalam ilmu sejarah agama dan ilmu perbandingan agama, kekuatan batin ini biasanya disebut “mana”. Mana ini mempunya 5 sifat :
a. Mana memiliki kekuatan
b. Mana tak dapa dilihat
c. Mana tidak memiliki tempat yang tetap
d. Mana pada dasarnya tidak meski baik dan tidak pula buruk
e. Mana dapat dikontrol kadang juga tidak dapat dikontrol
Dengan demikian mana adalah suatu kekuatan yang tak terlihat, sesuatu kekuatan ghaib, sesuatu kekuatan misterius yang hanya dapat dilihat adalah efeknya. Oleh karena itu, dinamisme mengajarkan kepada pemeluknya supaya memperoleh mana yang baik sebanyak-banyaknya dan mejauhi mana yang jahat.
2. Animisme
Animisme berasal dari kata latin anima yang berarti jiwa. Masyarakat menganggap bahwa semua benda, baik yang bernyawa atau tak bernyawa mempunyai roh. Sungguhpun masyarakat primitif serupa ini telah percaya pada roh-roh bukan sebagaimana roh yang telah kita kenal. Bagi mereka roh itu tersusun dari suatu zat atau materi yang “halus” sekali, yang dekat menyerupai uap atau udara. Roh dapat makan, mempunyai bentuk dan mempunyai umur.
Roh itu memilikin kekuatan dan kehendak dapat merasa senang dan dapat menjadi marah. Kalau dia marah maka dapat membahayakan nyawa manusia, maka manusia harus mencari ridhanya. Keridhaan itu dapat diperoleh dengan memberi makan, mengemukakan korban, dan mengadakan pesta-pesta khusus untuknya. Bagi masyarakat primitif semua benda memiliki roh. Gunung, sungai, pohon kayu, batu, dan bahkan rumput. Yang tahu dan pandai mengambil hati para roh dari benda-benda ini adalah para dukun atau ahli sihir.
Dalam agama animisme, roh dari benda-benda dan nenek moyang yang berkuasa dihormati, dijunjung tinggi dan disembah agar roh itu menolong manusia dan tidak menjadi rintangan baginya dalam kerja dan hidup sehari-hari.
3. Politeisme
Peningkatan mana sebagai sesuatu kekuatan ghaib menjadi roh yang juga mempunyai kekuatan ghaib mudah dapat dibayangkan. Demikian juga peningkatan roh, terutama nenek moyang menjadi dewa dan tuhan. Perbedaan antara roh dan dewa hanya perbedaan dalam derajat kekuasaan. Roh dipandang tidak sekuasa dan semulia dewa. Suatu roh yang dimuliakan jika dengan peredaran masa dipandang mempunyai kekuasaan dan disembah menurt cara-cara yang teratur dan tertentu, meningkat menjadi dewa.
Dalam politeisme dewa-dewa mempunyai kepribadian. Sang surya kepribadiannya adalah memberi cahaya, Wotan kepribadiannya menghembuskan angin ke bumi. Oleh karena itu, suatu roh yang dipuja meningkat menjadi dewa.
Politeisme adalah menyembah tuhan-tuhan banyak. Terdapat pertentangan tugas pada para dewa. Dewa-dewa yang banyak dan memiliki tugas yang berlainan itu tidak selamanyamengadakan kerja sama. Misalnya, dewa kemarau bertentangan dengan dewa hujan. Dalam keadaan yang sama bisa saja orang meminta hujan sekaligus meminta panas matahari.
Perbedaan antara seorang monoteis dan seorang politeis bukan terletak pada paham satu dan banyaknya tuhan, tapi juga pada bentuk dan sifat kepercayaan masing-masing. Seorang monoteis, kalau melihat sesuatu yang aneh dan ganjil dia berkata “alangkah hebatnya”. Dalam masyrakat politeis, sesuatu yang bersifat aneh dan misterius segera didewakan. Orang-orang politeis yang bekerja di pabrik-pabrik ada yang menyembah mesin-mesin dan mahasiswa-mahasiswa adapula yang menyembah alat-alat laboratorium, dan sopir taksi bias saja menyembah taksinya.
4. Henoteisme
Di atas telah dijelaskan terdapat pertentangan tugas antara dewa-dewa atau tuhan-tuhan. Oleh karena itu timbullah aliran yang mengutamakan aliran beberapa aliran dari dewa sebagai objek penyembahan. Pada suatu masa dalam perkembangan paham tuhan ini satu dewa saja yang diberikan diantara tuhan-tuhan yang banyak itu. Tuhan ini mendapat kedudukan lebih tinggi dari pada tuhan-tuhan yang lain. Misalnya, Zeus dalam agama yunani lama, sebagai bapak dalam kepala keluarga dewa-dewa panteon, disembah dan dimuliakan lebih tinggi daripada dewa-dewa lainnya.
Paham tuhan utama dalam suatu agama ini bisa meningkat menjadi paham-paham tunggal. Dengan kata lain tuhan itu meningkat menjadi tuhan satu. Tuhan-tuhan kabilah-kabilah atau kota-kota lain hilang dan tinggal satu tuhan, sebagai tuhan nasional bagi suatu bangsa.
Perkembangan tersebut di atas kelihatan dalam masyarakat yahudi. Sewaktu bangsa yahudi masih dalam tingkatan masyarakat animisme, roh-roh nenek moyang mereka disembah yang kemudian dlam tingkatan politeisme menjadi dewa-dewa. Masyarakat yahudi pada fase masih berpaham henoteisme.
Dalam sejarah barat tentang nabi Sulaiman disebut juga bahwa Salamon cukup kaya untuk mempunyai istri-istri asing yang memeluk agama-agama lain, dan tiap-tiap istri itu menyembah tuhannya masing-masing. Begitulah dewa Ishtar (bintang) dalam agama sidon (libanon), dan dewa Chemoth dari Moab, umpamanya disembah di istana Salomon. Malahan Salomon mengizinkan patung-patung diadakan dan disembah ditempatnya. Demikian pula ia memberikan bahan yang diperlukan istrinya satu korban pada dewa-dewa mereka.
Dari yang di atas kelihatan, sungguhpun masyarakat yahudi pada waktu itu, mengakui satu tuhan, tapi mereka tidak mengingkari adanya tuhan-tuhan bagi agama lain. Inilah yang disebut henoteisme.
5. Monoteisme
Henoteisme hanya perlu selangkah lagi untuk meningkat menjadi monoteisme. Kalau tuhan-tuhan asing yang disangka musuh atau saingan itu tidak diakui lagi malahan ada yang disuruh alam hanya satu tuhan yaitu satu eloh untuk seluruh manusia satu manusia yang menjadikan kosmos ini dan tidak ada tuhan selain dari dia maka faham semacam ini disebutlah monoteisme.
Untuk meningkat monoteisme, politeisme tidak mesti melalui jalan honoteisme. Di abad ke-14 SM, Raja Fir’aun, Amenhotep IV, mengambil Aton (Tuhan matahari) menjadi satu-satunya tuhan seluruh Mesir. Tuhan-tuhan yang lain seperti Amon (Thebes), Osiris (Delta), dan Ptah (Delta) tidak boleh disembah lagi. Dari pujaan-pujaan Amen Hatep kepada tuhan tunggal ini, ternyata bahwa Aton bukan hanya Tuhan Mesir, tetapi tuhan seluruh alam dan seluruh manusia.
“Dikala Engkau terbit di pagi hari, engkau terangi seluruh alam. Enhkau ciptakan alam menurut kehendakmu demikian pula seluruh manusia, seluruh binatang, seluruh yang hidup dan bergerak di atas bumi dan semua yang terbang di langit. Di Negara-negara asing di Siria, Etiopia dan diseluruh dunia engkau letakkan manusia pada tempat yang sepantasnya. Engkau jamin kehidupan mereka dan kepada mereka engkau beri rezki yang mereka minta.”
Dari kata pujian ini ternyata bahwa Amenhotep yang nenukar namanya dengan “Achnaton” adalah menganut monoteisme dan bukan honoteisme. Dengan kata lain politeisme dengan langsung meningkat menjadi monoteisme.
6. Deisme
Monoteisme bisa berbentuk deisme atau teisme. Deisme berasal dari kata latin Deus yang berarti Tuhan. Menurut faham deisme tuhan berada jauh di luar alam (transcendent) yaitu tidak dalam alam (tidak immanent). Tuhan menciptakan alam dan sudah alam diciptakannya ia tidak memperhatika alam lagi. Alam berjalan dengan peraturan-peraturan (sunnatullah) yang tak berubah-ubah, peraturan –peraturan yang sempurna sesempurna-sesempurnanya.
Demikian pula alam dalam faham deisme. Setelah diciptakan, alam tak berhajat lagi pada tuhan dan berjalan pada mekanisme menurut mekanisme yang telah diatur oleh tuhan.
Dalam faham deisme Tuhan hanya merupakan pencipta alam dan sumber dari segala-galanya, dan bukan pengatur atau pengawasa alam, alam tak perlu diatur atau diawasi lagi. tuhan yang berada jauh dari ala mini, diumpakan dengan “ absentee landlord”, tuhan tanah yang tak pernah ada ditanahnya.
Menurut deisme pendapat akal mesti sesuai dengan wahyu dan oleh karena itu wahyu tak perlu dan manusia tak berhajat padanya. Akal dapat mengetahui apa yang baik dan yang buruk. Orang tak perlu berdoa dan meminta bantuan tuhan untuk mengurus hidupnya dalam hidup ini.
7. Panteisme
Pan berarti seluruh. Panteisme dengan demikian mengandung arti : seluruhnya tuhan. Panteisme berpendapat bahwa seluruh kosmos ini adalah tuhan. Semuanyayang ada dalam keseluruhannya ialah Tuhan dan tuhan ialah semua yang ada dalam keseluruhannya. Benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indera adalah bagian dari tuhan.
Karena tuhan adalah kosmos ini dalam keseluruhannya dan karena benda-benda dalah bagian dari tuhan maka tuhan itu, berlainan dengan faham deisme, adalah dekat sekali dengan alam.
Dalam panteisme tuhan atau yang maha besar itu hanya satu, dan tak berubah. Alam panca indera yang dilihat berubah ini dan yang mana merupakan bagian dari tuhan, adalah ilusi atau hayal belaka.
8. Teisme
Teisme sepaham denga deisme, berpendapat bahwa tuhan adalah transenden, yaitu di luar alam, tapi juga sepaham dengan panteisme, menyatakan bahwa tuhan sungguhpun berada di luar alam, juga dekat pada alam.
Dalam paham teisme alam ini tidak beredar menurut hokum-hukum dan peraturan-peraturan yang tak berubah, tetapi beredar menurut kehendak mutlak Tuhan. Oleh sebab itu, teisme mengakui adanya mukjizat dalam teisme doa juga mempunya tempat.
9. Naturalisme
Faham deisme yang mengatakan bahwa alam ini setelah dijadikan Tuhan tak berhajat lagi pada Tuhan, karena tuhan menjadinkannya berjalan menurut peraturan-peraturan, tetap dan tak berubah-ubah ahirnya meningkat pada naturalism. Menurut naturalism alam ini berdiri sendiri serba sempurna, beredar dan beroperasi menurut sifat-sifat yang terdapat dalam dirinya sendiri, menurut tabiat/naturnya yaitu menrut hukum sebab dan musabab ala mini tidak berasal dari dan tidak bergantung pada kekuatan ghaib atau supernatural.
Denhan dijmpainya hokum-hukum alam, menurut naturalime tak ada misteri lagi dalam ala mini. Masa denpan ditentukan dari sekarang oleh hokum-hukum alam yang tak berubah-ubah itu. Diatas hokum-hukum alma ini tidak ada lagi sesuatu yang lebih tinggi, sesuatu yang supreme.
10. Ateisme
Faham naturalism ini seterusnya meningkat pada ateisme. Ateisme ialah kepercayaan bahwa Tuhan tak ada. Kalau alam memang berdiri sendiri serta serba lengkap dan bergerak menurut undang-undang yang terdapat dalam dirinya sendiri tuhan tak perlu. Kalau tuhan betul ada kata seorang ateis mengapa ia tak menunjukkan dirinya dnegan nyata dan jelas kepada manusia ?
Dan kalau tuhan betul ada apa sebabnya ia tak menjadkan alam ini sekaligus sempurna ? sebagaimana yang kelihatan sekarang ala mini penuh dengan ketidak sempurnaan. Hidup di alam ini kelihatannya tak mempunyai tujuan dan arti tertentu.
Seterusnya terdapat pula dalam alam ini eksperimen-eksperimen natur yang menunjukkan ada kegagalan banyak binatang-binatang yang telah beribu-ribu tahun hidup dan berevolusi mencapai kesempurnannya, tetapi kemudian hancur seluruhnya. Apa gunanya mereka diadakan Tuhan?, kalau toh nanti akan dihancurkan seluruhnya.
Alam yang ada sekarang ini bukan ciptaan Tuhan, tetapi ada dengan sendirinya dan beredar menurut peraturan-peraturan yang ada dalam dirinya. Demikian argument-argumen kaum ateis.
11. Agnostisisme
Kalau ada faham yang dengan tegas mengatakan bahwa tuhan ada da faham dengan tegas mengatakan tuhan tak ada, dapula tuhan yang ragu-ragu dengan adanya tuhan, atau lebih tepat disebut faham yang mengatakan bahwa manusia tak sanggup dan tak bisa memperoleh pengetahuan tentang tuhan.
Menurut sejarahnya kata Agnostik di ciptakan oleh Thomas Hendry Huxley (1825-1895) sebagai lawan dari kata Gnostic yang mengatakan bahwa mereka memperoleh pengetahuan positif tentang Tuhan dapat diperoleh manusia. Kaum agama mengatakan bahwa mereka memperoleh pengetahuan positif dan pasti (gnosis) tentang tuhan. Huxley sebaliknya mengatakan pengetahuanyang positip dan pasti tentang tuhan tak mungkin tak diperoleh. Kalau tentang a;am nyata ini saja, manusia tak bisa memeproleh pengetahuan yang seratus persen posiitf apalagi –engetahuan tengtang alam ghaib. Tetapi ketika dinyatakan pendiriannya tentang teisme dan ateisme, Huxley tak mau memilih salah satu faham itu. Ia bukanlah seorang teis Kristen yang percaya pada tuhan tetapi tidak pula seorang ateis; ia adalah seorang agnostik, yaitu seorang yang tak mempunyai pengetahuan positif tentang ketuhanan.
Faham agnostisisme tidak dengan tegas menidakkan adanya tuhan, sebagaimana hanya dengan ateisme. Oleh sebab itu seorang agnostic bisa percaya pada adanya tuhan, tetapi tidak tahu siapa dan bagaimana sifat-sifat tuhan itu. Bagi orang serupa ini, tuhan hanya merupakan sumber dari segala yang ada. Diamana tuhan, apa dia satu, atau satu tiga apa dia bersifat baik atau buruk, mahatahu atau tidak, maha penyayang atau tidak, tak dapat diketahui. Sifat-sifat tuhanitu amat jauh dan besar unutuk dapat diketahui manusia.
Kalau kaum ateisme payah dapat ditarik ke dalam lingkungan agama kaum agnostic dengan sikap-sikap keragu-raguan mereka antara ateisme dan teisme, masih dapat agak mudah ditarik kedalam lingkungan agama.
DAFTAR PUSTAKA
Bellon, K.L. inleiding tot de natuurlijke godisdients-wetenschap, antwerpen: NV standard-boekhandel, 1948
Bronstein, Daniel J., ed. Approaches to the philosophy of religion, new York: prentice hall, inc., 1954
Challay, felicien. Petitie histoire des grandes religion, paris : presses universitaires de france, 1947
Dumeri, henry. Pyloslphy de la religion, paris: presses universitaires de france, 1957
Kaufmann, walter. Critique of religion and philosophy, new York: double day & co., inc., 1961
Kellet E.E. A sort history of religion, penguin books, 1962
McGregor, geddes. Introduction to religion philosophy, London : McMillan & co., Inc., Ltd., 1960
Nevius , warren nelson. Religion as experience and truth, philladelphia : the Westminster press, 1941
Rasjidi, H.M. filsafat agama, Jakarta: pemandangan, 1965
Sheen, fulton J. philosophy of religion, Dublin : browne and Nolan, Ltd., 1952
______Religion Without God. New York: garden city books, 1954
Wright, William Kelley. A students philosophy of religion, new York : the MacMillan Co., 1948
KONSEP-KONSEP KETUHANAN
1. Dinamisme
“Dinamisme” berasal dari kata yunani “dynamis” yang dalam bahasa indonesia disebut kekuatan. Menurut pandangan masyarakat primitif, tiap-tiap benda yang berada di sekelilingnya mempunyai kekuatan batin yang misterius. Masyarakat-masyarakat yang masih primitif memberi berbagai nama pada kekuatan yang misterius ini. Dalam ilmu sejarah agama dan ilmu perbandingan agama, kekuatan batin ini biasanya disebut “mana”. Mana ini mempunya 5 sifat :
a. Mana memiliki kekuatan
b. Mana tak dapa dilihat
c. Mana tidak memiliki tempat yang tetap
d. Mana pada dasarnya tidak meski baik dan tidak pula buruk
e. Mana dapat dikontrol kadang juga tidak dapat dikontrol
Dengan demikian mana adalah suatu kekuatan yang tak terlihat, sesuatu kekuatan ghaib, sesuatu kekuatan misterius yang hanya dapat dilihat adalah efeknya. Oleh karena itu, dinamisme mengajarkan kepada pemeluknya supaya memperoleh mana yang baik sebanyak-banyaknya dan mejauhi mana yang jahat.
2. Animisme
Animisme berasal dari kata latin anima yang berarti jiwa. Masyarakat menganggap bahwa semua benda, baik yang bernyawa atau tak bernyawa mempunyai roh. Sungguhpun masyarakat primitif serupa ini telah percaya pada roh-roh bukan sebagaimana roh yang telah kita kenal. Bagi mereka roh itu tersusun dari suatu zat atau materi yang “halus” sekali, yang dekat menyerupai uap atau udara. Roh dapat makan, mempunyai bentuk dan mempunyai umur.
Roh itu memilikin kekuatan dan kehendak dapat merasa senang dan dapat menjadi marah. Kalau dia marah maka dapat membahayakan nyawa manusia, maka manusia harus mencari ridhanya. Keridhaan itu dapat diperoleh dengan memberi makan, mengemukakan korban, dan mengadakan pesta-pesta khusus untuknya. Bagi masyarakat primitif semua benda memiliki roh. Gunung, sungai, pohon kayu, batu, dan bahkan rumput. Yang tahu dan pandai mengambil hati para roh dari benda-benda ini adalah para dukun atau ahli sihir.
Dalam agama animisme, roh dari benda-benda dan nenek moyang yang berkuasa dihormati, dijunjung tinggi dan disembah agar roh itu menolong manusia dan tidak menjadi rintangan baginya dalam kerja dan hidup sehari-hari.
3. Politeisme
Peningkatan mana sebagai sesuatu kekuatan ghaib menjadi roh yang juga mempunyai kekuatan ghaib mudah dapat dibayangkan. Demikian juga peningkatan roh, terutama nenek moyang menjadi dewa dan tuhan. Perbedaan antara roh dan dewa hanya perbedaan dalam derajat kekuasaan. Roh dipandang tidak sekuasa dan semulia dewa. Suatu roh yang dimuliakan jika dengan peredaran masa dipandang mempunyai kekuasaan dan disembah menurt cara-cara yang teratur dan tertentu, meningkat menjadi dewa.
Dalam politeisme dewa-dewa mempunyai kepribadian. Sang surya kepribadiannya adalah memberi cahaya, Wotan kepribadiannya menghembuskan angin ke bumi. Oleh karena itu, suatu roh yang dipuja meningkat menjadi dewa.
Politeisme adalah menyembah tuhan-tuhan banyak. Terdapat pertentangan tugas pada para dewa. Dewa-dewa yang banyak dan memiliki tugas yang berlainan itu tidak selamanyamengadakan kerja sama. Misalnya, dewa kemarau bertentangan dengan dewa hujan. Dalam keadaan yang sama bisa saja orang meminta hujan sekaligus meminta panas matahari.
Perbedaan antara seorang monoteis dan seorang politeis bukan terletak pada paham satu dan banyaknya tuhan, tapi juga pada bentuk dan sifat kepercayaan masing-masing. Seorang monoteis, kalau melihat sesuatu yang aneh dan ganjil dia berkata “alangkah hebatnya”. Dalam masyrakat politeis, sesuatu yang bersifat aneh dan misterius segera didewakan. Orang-orang politeis yang bekerja di pabrik-pabrik ada yang menyembah mesin-mesin dan mahasiswa-mahasiswa adapula yang menyembah alat-alat laboratorium, dan sopir taksi bias saja menyembah taksinya.
4. Henoteisme
Di atas telah dijelaskan terdapat pertentangan tugas antara dewa-dewa atau tuhan-tuhan. Oleh karena itu timbullah aliran yang mengutamakan aliran beberapa aliran dari dewa sebagai objek penyembahan. Pada suatu masa dalam perkembangan paham tuhan ini satu dewa saja yang diberikan diantara tuhan-tuhan yang banyak itu. Tuhan ini mendapat kedudukan lebih tinggi dari pada tuhan-tuhan yang lain. Misalnya, Zeus dalam agama yunani lama, sebagai bapak dalam kepala keluarga dewa-dewa panteon, disembah dan dimuliakan lebih tinggi daripada dewa-dewa lainnya.
Paham tuhan utama dalam suatu agama ini bisa meningkat menjadi paham-paham tunggal. Dengan kata lain tuhan itu meningkat menjadi tuhan satu. Tuhan-tuhan kabilah-kabilah atau kota-kota lain hilang dan tinggal satu tuhan, sebagai tuhan nasional bagi suatu bangsa.
Perkembangan tersebut di atas kelihatan dalam masyarakat yahudi. Sewaktu bangsa yahudi masih dalam tingkatan masyarakat animisme, roh-roh nenek moyang mereka disembah yang kemudian dlam tingkatan politeisme menjadi dewa-dewa. Masyarakat yahudi pada fase masih berpaham henoteisme.
Dalam sejarah barat tentang nabi Sulaiman disebut juga bahwa Salamon cukup kaya untuk mempunyai istri-istri asing yang memeluk agama-agama lain, dan tiap-tiap istri itu menyembah tuhannya masing-masing. Begitulah dewa Ishtar (bintang) dalam agama sidon (libanon), dan dewa Chemoth dari Moab, umpamanya disembah di istana Salomon. Malahan Salomon mengizinkan patung-patung diadakan dan disembah ditempatnya. Demikian pula ia memberikan bahan yang diperlukan istrinya satu korban pada dewa-dewa mereka.
Dari yang di atas kelihatan, sungguhpun masyarakat yahudi pada waktu itu, mengakui satu tuhan, tapi mereka tidak mengingkari adanya tuhan-tuhan bagi agama lain. Inilah yang disebut henoteisme.
5. Monoteisme
Henoteisme hanya perlu selangkah lagi untuk meningkat menjadi monoteisme. Kalau tuhan-tuhan asing yang disangka musuh atau saingan itu tidak diakui lagi malahan ada yang disuruh alam hanya satu tuhan yaitu satu eloh untuk seluruh manusia satu manusia yang menjadikan kosmos ini dan tidak ada tuhan selain dari dia maka faham semacam ini disebutlah monoteisme.
Untuk meningkat monoteisme, politeisme tidak mesti melalui jalan honoteisme. Di abad ke-14 SM, Raja Fir’aun, Amenhotep IV, mengambil Aton (Tuhan matahari) menjadi satu-satunya tuhan seluruh Mesir. Tuhan-tuhan yang lain seperti Amon (Thebes), Osiris (Delta), dan Ptah (Delta) tidak boleh disembah lagi. Dari pujaan-pujaan Amen Hatep kepada tuhan tunggal ini, ternyata bahwa Aton bukan hanya Tuhan Mesir, tetapi tuhan seluruh alam dan seluruh manusia.
“Dikala Engkau terbit di pagi hari, engkau terangi seluruh alam. Enhkau ciptakan alam menurut kehendakmu demikian pula seluruh manusia, seluruh binatang, seluruh yang hidup dan bergerak di atas bumi dan semua yang terbang di langit. Di Negara-negara asing di Siria, Etiopia dan diseluruh dunia engkau letakkan manusia pada tempat yang sepantasnya. Engkau jamin kehidupan mereka dan kepada mereka engkau beri rezki yang mereka minta.”
Dari kata pujian ini ternyata bahwa Amenhotep yang nenukar namanya dengan “Achnaton” adalah menganut monoteisme dan bukan honoteisme. Dengan kata lain politeisme dengan langsung meningkat menjadi monoteisme.
6. Deisme
Monoteisme bisa berbentuk deisme atau teisme. Deisme berasal dari kata latin Deus yang berarti Tuhan. Menurut faham deisme tuhan berada jauh di luar alam (transcendent) yaitu tidak dalam alam (tidak immanent). Tuhan menciptakan alam dan sudah alam diciptakannya ia tidak memperhatika alam lagi. Alam berjalan dengan peraturan-peraturan (sunnatullah) yang tak berubah-ubah, peraturan –peraturan yang sempurna sesempurna-sesempurnanya.
Demikian pula alam dalam faham deisme. Setelah diciptakan, alam tak berhajat lagi pada tuhan dan berjalan pada mekanisme menurut mekanisme yang telah diatur oleh tuhan.
Dalam faham deisme Tuhan hanya merupakan pencipta alam dan sumber dari segala-galanya, dan bukan pengatur atau pengawasa alam, alam tak perlu diatur atau diawasi lagi. tuhan yang berada jauh dari ala mini, diumpakan dengan “ absentee landlord”, tuhan tanah yang tak pernah ada ditanahnya.
Menurut deisme pendapat akal mesti sesuai dengan wahyu dan oleh karena itu wahyu tak perlu dan manusia tak berhajat padanya. Akal dapat mengetahui apa yang baik dan yang buruk. Orang tak perlu berdoa dan meminta bantuan tuhan untuk mengurus hidupnya dalam hidup ini.
7. Panteisme
Pan berarti seluruh. Panteisme dengan demikian mengandung arti : seluruhnya tuhan. Panteisme berpendapat bahwa seluruh kosmos ini adalah tuhan. Semuanyayang ada dalam keseluruhannya ialah Tuhan dan tuhan ialah semua yang ada dalam keseluruhannya. Benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indera adalah bagian dari tuhan.
Karena tuhan adalah kosmos ini dalam keseluruhannya dan karena benda-benda dalah bagian dari tuhan maka tuhan itu, berlainan dengan faham deisme, adalah dekat sekali dengan alam.
Dalam panteisme tuhan atau yang maha besar itu hanya satu, dan tak berubah. Alam panca indera yang dilihat berubah ini dan yang mana merupakan bagian dari tuhan, adalah ilusi atau hayal belaka.
8. Teisme
Teisme sepaham denga deisme, berpendapat bahwa tuhan adalah transenden, yaitu di luar alam, tapi juga sepaham dengan panteisme, menyatakan bahwa tuhan sungguhpun berada di luar alam, juga dekat pada alam.
Dalam paham teisme alam ini tidak beredar menurut hokum-hukum dan peraturan-peraturan yang tak berubah, tetapi beredar menurut kehendak mutlak Tuhan. Oleh sebab itu, teisme mengakui adanya mukjizat dalam teisme doa juga mempunya tempat.
9. Naturalisme
Faham deisme yang mengatakan bahwa alam ini setelah dijadikan Tuhan tak berhajat lagi pada Tuhan, karena tuhan menjadinkannya berjalan menurut peraturan-peraturan, tetap dan tak berubah-ubah ahirnya meningkat pada naturalism. Menurut naturalism alam ini berdiri sendiri serba sempurna, beredar dan beroperasi menurut sifat-sifat yang terdapat dalam dirinya sendiri, menurut tabiat/naturnya yaitu menrut hukum sebab dan musabab ala mini tidak berasal dari dan tidak bergantung pada kekuatan ghaib atau supernatural.
Denhan dijmpainya hokum-hukum alam, menurut naturalime tak ada misteri lagi dalam ala mini. Masa denpan ditentukan dari sekarang oleh hokum-hukum alam yang tak berubah-ubah itu. Diatas hokum-hukum alma ini tidak ada lagi sesuatu yang lebih tinggi, sesuatu yang supreme.
10. Ateisme
Faham naturalism ini seterusnya meningkat pada ateisme. Ateisme ialah kepercayaan bahwa Tuhan tak ada. Kalau alam memang berdiri sendiri serta serba lengkap dan bergerak menurut undang-undang yang terdapat dalam dirinya sendiri tuhan tak perlu. Kalau tuhan betul ada kata seorang ateis mengapa ia tak menunjukkan dirinya dnegan nyata dan jelas kepada manusia ?
Dan kalau tuhan betul ada apa sebabnya ia tak menjadkan alam ini sekaligus sempurna ? sebagaimana yang kelihatan sekarang ala mini penuh dengan ketidak sempurnaan. Hidup di alam ini kelihatannya tak mempunyai tujuan dan arti tertentu.
Seterusnya terdapat pula dalam alam ini eksperimen-eksperimen natur yang menunjukkan ada kegagalan banyak binatang-binatang yang telah beribu-ribu tahun hidup dan berevolusi mencapai kesempurnannya, tetapi kemudian hancur seluruhnya. Apa gunanya mereka diadakan Tuhan?, kalau toh nanti akan dihancurkan seluruhnya.
Alam yang ada sekarang ini bukan ciptaan Tuhan, tetapi ada dengan sendirinya dan beredar menurut peraturan-peraturan yang ada dalam dirinya. Demikian argument-argumen kaum ateis.
11. Agnostisisme
Kalau ada faham yang dengan tegas mengatakan bahwa tuhan ada da faham dengan tegas mengatakan tuhan tak ada, dapula tuhan yang ragu-ragu dengan adanya tuhan, atau lebih tepat disebut faham yang mengatakan bahwa manusia tak sanggup dan tak bisa memperoleh pengetahuan tentang tuhan.
Menurut sejarahnya kata Agnostik di ciptakan oleh Thomas Hendry Huxley (1825-1895) sebagai lawan dari kata Gnostic yang mengatakan bahwa mereka memperoleh pengetahuan positif tentang Tuhan dapat diperoleh manusia. Kaum agama mengatakan bahwa mereka memperoleh pengetahuan positif dan pasti (gnosis) tentang tuhan. Huxley sebaliknya mengatakan pengetahuanyang positip dan pasti tentang tuhan tak mungkin tak diperoleh. Kalau tentang a;am nyata ini saja, manusia tak bisa memeproleh pengetahuan yang seratus persen posiitf apalagi –engetahuan tengtang alam ghaib. Tetapi ketika dinyatakan pendiriannya tentang teisme dan ateisme, Huxley tak mau memilih salah satu faham itu. Ia bukanlah seorang teis Kristen yang percaya pada tuhan tetapi tidak pula seorang ateis; ia adalah seorang agnostik, yaitu seorang yang tak mempunyai pengetahuan positif tentang ketuhanan.
Faham agnostisisme tidak dengan tegas menidakkan adanya tuhan, sebagaimana hanya dengan ateisme. Oleh sebab itu seorang agnostic bisa percaya pada adanya tuhan, tetapi tidak tahu siapa dan bagaimana sifat-sifat tuhan itu. Bagi orang serupa ini, tuhan hanya merupakan sumber dari segala yang ada. Diamana tuhan, apa dia satu, atau satu tiga apa dia bersifat baik atau buruk, mahatahu atau tidak, maha penyayang atau tidak, tak dapat diketahui. Sifat-sifat tuhanitu amat jauh dan besar unutuk dapat diketahui manusia.
Kalau kaum ateisme payah dapat ditarik ke dalam lingkungan agama kaum agnostic dengan sikap-sikap keragu-raguan mereka antara ateisme dan teisme, masih dapat agak mudah ditarik kedalam lingkungan agama.
DAFTAR PUSTAKA
Bellon, K.L. inleiding tot de natuurlijke godisdients-wetenschap, antwerpen: NV standard-boekhandel, 1948
Bronstein, Daniel J., ed. Approaches to the philosophy of religion, new York: prentice hall, inc., 1954
Challay, felicien. Petitie histoire des grandes religion, paris : presses universitaires de france, 1947
Dumeri, henry. Pyloslphy de la religion, paris: presses universitaires de france, 1957
Kaufmann, walter. Critique of religion and philosophy, new York: double day & co., inc., 1961
Kellet E.E. A sort history of religion, penguin books, 1962
McGregor, geddes. Introduction to religion philosophy, London : McMillan & co., Inc., Ltd., 1960
Nevius , warren nelson. Religion as experience and truth, philladelphia : the Westminster press, 1941
Rasjidi, H.M. filsafat agama, Jakarta: pemandangan, 1965
Sheen, fulton J. philosophy of religion, Dublin : browne and Nolan, Ltd., 1952
______Religion Without God. New York: garden city books, 1954
Wright, William Kelley. A students philosophy of religion, new York : the MacMillan Co., 1948